Khawatir dengan isu pembangunan tambang batubara di kawasan Air terjun Pangkalan Kapas lebih dikenal dengan nama Artepak, tim Mapala Suska mengadakan ekspedisi mengunjungi Air terjun yang berada di Desa Lubuk Bigau, Kampar Kiri kabupaten Kampar.
Tim yang terdiri dari sepuluh orang tersebut, memulai ekspedisi selama empat hari pada akhir Februari hingga awal Maret lalu. “Tolong jaga sikap, omongan, dan jangan merusak, apa lagi mengambil yang bukan milik kita,” pesan Alfian Furqani sebelum berangkat.
Perjalanan yang di tempuh melewati beberapa desa sebelum sampai ke Lubuk Bingau. Salah satunya adalah Desa Manggilang. Untuk bisa sampai ke Artepak di perlukan waktu satu hari bahkan lebih. Karena jarak sekitar 65 kilometer tersebut melewati hutan, bukit dan sungai.
Dari semua tim, hanya Alfian yang sudah pernah menginjakkan kaki di Artepak. Sementara itu perjalanan dilakukan siang dan malam, sehingga membuat Alfian selaku Leader sedikit kesulitan memimpin ekspedisi tersebut.
“Kalau malam jalan nya samar-samar, jadi susah, banyak jalan baru,” keluh Alfian.
Perjalanan terus berlanjut dan hanya diselingi dngan istirahat ketika malam semakin beranjak larut. Sepanjang jalan pemandangan alami dan terjalnya bukit banyak ditemui oleh tim Mapala. “Mekipun lemas, serta kabut yang menyelimuti pepohonan menjadi pemandangan yang membuat kami berteriak dan menarik napas panjang dengan lega masih bisa menikmati keindahan alam,” ujar Afdhal, salah satu anggota tim ekspedisi.
“Sudah tak terhitung lagi berapa kali kami jatuh, namun semangat yang menggebu-gebu membuat kami mampu bertahan meneruskan perjalanan,” tambah Umi Rovia yang bertugas membawa alat-alat p3k.
Menurut Alfian, ada lima desa di sekitar daerah Artepak, dahulu desa tersebut merupakan sebuah desa yang bernama Desa Pangkalan Kapas dan saat ini telah terpecah menjadi lima. “Daerah ini merupakan perbatasan wilayah Sumatera Barat dengan kampar,” jelas Alfian.
Jarum jam menununjukan pukul 10.30 wib, di atas jembatan kami istirahat untuk makan siang. Suara alat pemotong kayu terdengar keras. Terlihat seorang dari mereka menarik potongan kayu di dalam air.
Dari Lubuk Bingau menuju Artepak ternyata masih jauh yakni sekitar 10 kilometer, jalan yang dilalui pun banyak yang terdiri dari tanah kuning. Hanya ada beberapa kawasan yang sudah mengalami semenisasi, itupun karena bangunan warga.
”Biasanya dari Lubuk Bigau menuju Artepak butuh waktu 2-3 jam,” ujar salah seorang warga yang ditemui oleh tim ekspedisi.
“Seumur hidup, baru kali ini jalan paling jauh,” kata Asianita, salah satu tim ekspedisi.
Sampai di Artepak suara air jatuh dibatu terdengar keras. Tebing putih terbentang panjang dan tinggi. Sarang lebah tersusun rapi di atas tebing. Batu-baru besar tersusun di bawah Artepak. Pemandangan yang eksotis dan langka berada di depan mata tim ekspedisi. Semua tim menghembuskan nafas, dan teriak sekuat-kuatnya. (asrul-gsj/new)
Didekat air terjun tersebut ada plang bertulisan Jagalah Kehijauan Kami menempel di pohon. “Itu kami yang buat, waktu XPDC ke-dua tahun 2007,” ujar Alfiadi.
Dulu tim ekspedisi Mapala Suska banyak bekerja sama dengan warga Lubuk Bigau untuk melestarikan lingkungan, diantaranya membuat rute menuju kawasan air terjun, mengukur tinggi air terjun, kemudian membuat plang nama, mendata flora dan fauna serta mencari beberapa objek wisata lainnya disekitar air terjun. Dan ditemukanlah Gua-gua, kolam dan beberapa air terjun yang lebih kecil disekitar kawasan tersebut.
Sampai saat ini untuk mencapai kawasan air terjun tersebut butuh waktu panjang dan penuh tantangan. Belum ada transportasi yang memadai untuk sampai kesana. Artepak merupakan wisata alam yang masih tertutup dengan berbagai keterbatasan.
Sedih rasanya melihat kondisi yang seharusnya menjadi kawasan wisata, ternyata masih terhambat dengan sulitnya transportasi bagi pengunjung,” ujar Afdhal.(asrul-gsj/new)
Tim yang terdiri dari sepuluh orang tersebut, memulai ekspedisi selama empat hari pada akhir Februari hingga awal Maret lalu. “Tolong jaga sikap, omongan, dan jangan merusak, apa lagi mengambil yang bukan milik kita,” pesan Alfian Furqani sebelum berangkat.
Perjalanan yang di tempuh melewati beberapa desa sebelum sampai ke Lubuk Bingau. Salah satunya adalah Desa Manggilang. Untuk bisa sampai ke Artepak di perlukan waktu satu hari bahkan lebih. Karena jarak sekitar 65 kilometer tersebut melewati hutan, bukit dan sungai.
Dari semua tim, hanya Alfian yang sudah pernah menginjakkan kaki di Artepak. Sementara itu perjalanan dilakukan siang dan malam, sehingga membuat Alfian selaku Leader sedikit kesulitan memimpin ekspedisi tersebut.
“Kalau malam jalan nya samar-samar, jadi susah, banyak jalan baru,” keluh Alfian.
Perjalanan terus berlanjut dan hanya diselingi dngan istirahat ketika malam semakin beranjak larut. Sepanjang jalan pemandangan alami dan terjalnya bukit banyak ditemui oleh tim Mapala. “Mekipun lemas, serta kabut yang menyelimuti pepohonan menjadi pemandangan yang membuat kami berteriak dan menarik napas panjang dengan lega masih bisa menikmati keindahan alam,” ujar Afdhal, salah satu anggota tim ekspedisi.
“Sudah tak terhitung lagi berapa kali kami jatuh, namun semangat yang menggebu-gebu membuat kami mampu bertahan meneruskan perjalanan,” tambah Umi Rovia yang bertugas membawa alat-alat p3k.
Menurut Alfian, ada lima desa di sekitar daerah Artepak, dahulu desa tersebut merupakan sebuah desa yang bernama Desa Pangkalan Kapas dan saat ini telah terpecah menjadi lima. “Daerah ini merupakan perbatasan wilayah Sumatera Barat dengan kampar,” jelas Alfian.
Jarum jam menununjukan pukul 10.30 wib, di atas jembatan kami istirahat untuk makan siang. Suara alat pemotong kayu terdengar keras. Terlihat seorang dari mereka menarik potongan kayu di dalam air.
Dari Lubuk Bingau menuju Artepak ternyata masih jauh yakni sekitar 10 kilometer, jalan yang dilalui pun banyak yang terdiri dari tanah kuning. Hanya ada beberapa kawasan yang sudah mengalami semenisasi, itupun karena bangunan warga.
”Biasanya dari Lubuk Bigau menuju Artepak butuh waktu 2-3 jam,” ujar salah seorang warga yang ditemui oleh tim ekspedisi.
“Seumur hidup, baru kali ini jalan paling jauh,” kata Asianita, salah satu tim ekspedisi.
Sampai di Artepak suara air jatuh dibatu terdengar keras. Tebing putih terbentang panjang dan tinggi. Sarang lebah tersusun rapi di atas tebing. Batu-baru besar tersusun di bawah Artepak. Pemandangan yang eksotis dan langka berada di depan mata tim ekspedisi. Semua tim menghembuskan nafas, dan teriak sekuat-kuatnya. (asrul-gsj/new)
Didekat air terjun tersebut ada plang bertulisan Jagalah Kehijauan Kami menempel di pohon. “Itu kami yang buat, waktu XPDC ke-dua tahun 2007,” ujar Alfiadi.
Dulu tim ekspedisi Mapala Suska banyak bekerja sama dengan warga Lubuk Bigau untuk melestarikan lingkungan, diantaranya membuat rute menuju kawasan air terjun, mengukur tinggi air terjun, kemudian membuat plang nama, mendata flora dan fauna serta mencari beberapa objek wisata lainnya disekitar air terjun. Dan ditemukanlah Gua-gua, kolam dan beberapa air terjun yang lebih kecil disekitar kawasan tersebut.
Sampai saat ini untuk mencapai kawasan air terjun tersebut butuh waktu panjang dan penuh tantangan. Belum ada transportasi yang memadai untuk sampai kesana. Artepak merupakan wisata alam yang masih tertutup dengan berbagai keterbatasan.
Sedih rasanya melihat kondisi yang seharusnya menjadi kawasan wisata, ternyata masih terhambat dengan sulitnya transportasi bagi pengunjung,” ujar Afdhal.(asrul-gsj/new)
0 komentar:
Posting Komentar