ELANG PARIA : Salah satu jenis Elang Paria yang berada di kandang re-habilitasi Suaka Elang Bogor.
Laporan Andi Noviriyanti, Bogor andinoviriyanti@riaupos.co.id
Sesuai namanya halimun tipis senantiasa menyelimuti kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Hutan alam yang membentang menciptakan harmonisasi yang sangat menakjubkan mulai dari kaki Gunung Salak sampai puncaknya. Sesekali pekikan Elang hitam (Ictinaetus Malayensis) membangunkan kesunyian basscamp Suaka Elang, Gunung Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat (5/2) tempat Riau Pos, Humas PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), Chevron Geothermal Salak (CGS), Lembaga Suaka Elang dan Raptor Indonesia (Rain) mengenal lebih dekat kehidupan elang dan peran Pulau Rupat di dalamnya.
“Rupat memiliki arti penting bagi imigrasi elang yang dilakukan setiap tahun pada musim dingin (September-November). Jika Rupat hancur, maka kehidupan raptor juga terancam musnah,” ungkap Gunawan, Direktur Suaka Elang. di kawasan konservasi elang, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Bogor, Jawa Barat.
Elang membutuhkan thermal (panas) untuk mampu terbang dengan tinggi dan tangkas. “Burung ini juga sangat efisien dalam menggunakan energinya saat terbang,” kata Gunawan. Oleh karena itu, elang mencari pulau-pulau dengan jarak yang dekat dalam lintasan imigrasinya. Pulau Rupat merupakan pulau yang dekat dengan parairan (laut) dan Tanjung tuan di Malaysia. Sehingga pulau ini merupakan tempat ideal bagi elang menambah energi setelah terbang sekian jauh dan lama, sebelum menuju daerah, tempatnya menghabiskan masa setiap musim dingin (wintering area).
Rupat (1.500 kilometer persegi) merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di Kabupaten Bengkalis, Riau. Pulau ini yang menjadi pintu gerbang masuknya raptor (burung pemangsa) ke Indonesia untuk mencari wintering area guna menghindari musim dingin dan kekurangan makanan. Hingga kemudian kembali lagi pada Februari-Maret menuju tempat asalnya, China, Jepang dan Siberia.
Sama seperti manusia, elang merupakan hewan tipe perantau (baca migrasi) meskipun ada sebagian yang menetap kemudian menjadi hewan endemik.
“Sebanyak 19 dari 56 jenis elang di Asia yang melakukan imigrasi terlihat di Pulau Rupat, Riau untuk memasuki Indonesia menuju daerah-daerah panas seperti Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Kalimantan,” ujar ketua Raptor Indonesia (RAIN), Zaini Rakhman, di tempat yang sama (TNGHS, red).
Zaini juga menambahkan bahwa ada lima jenis elang yang terlihat paling umum dalam imigrasi yang dinamakan dengan eastern island corridor (koridor pulau-pulau pasifik) tersebut. Mereka adalah elang hitam (Ictinaetus malayensis Temminck), Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus), elang alap Nipon (Accipiter gularis), elang alap China (Accipiter soloensis) dan elang alap petalabu (Accipiter poliocephalus).
Mengenal Elang Jawa
Selain elang migran terdapat pula elang menetap. Gunawan menyebutkan, elang penetap misalnya elang jawa (spizeatus bartelsi), yang saat ini merupakan hewan endemik di TNGHS. “Bahkan elang jawa telah ditetapka sebagai symbol nasional yaitu Garuda, berdasarkan peraturan pemerintah nomor 4 tahun 1999,” ungkapnya.
Elang jawa ini tidak berimigrasi dan menetap di hutan-hutan Pulau Jawa, sementara elang imigrasi akan terbang keberbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan tujuan dan tempat habitatnya hingga kembali lagi daerah asalnya. Sebab itu, Gunawan dan teman-temannya di Lembaga Suaka Elang terlihat sangat wanti-wanti sekali kepada tim Riau Pos yang berkunjung ketika untuk mengontrol habitat elang di Rupat.
Mengingat pentingnya peran elang sebagai penyeimbang ekosistem, “Sebab, elang menempati tingkat teratas dari ekosistem, sehingga perannya sebagai penyeimbang ekosistem sangat penting,” jelas Gunawan. Sehingga kehidupan elang sangat perlu untuk dijaga dan di kontrol.
Namun tingkat eksploitasi hutan sebagai habitat elang yang sangat tinggi, maka pada 21 November 2007 terbentuklah Suaka Elang atau Raptor Sanctuary. Ditandai dengan penandatanganan MoU dari 12 pihak yaitu pemerintah, LSM dan perusahaan. Dari pihak pemerintah yakni meliputi taman nasional gunung halimun salak, taman nasional gunung gede pangrango, BKSDA Jawa Barat, Pusat Penelitian dan Pe-ngembangan Kehutanan dan Konservasi Alam. Lalu dari pihak LSM ada Raptor Indonesia (RAIN), PILI-NGO Movement, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Raptor Conservation Society (RCS), dan mata ELANG. Dari dari pihak swasta ada Chevron Indonesia yang ikut menjadi founding member.
“Awalnya kami hanya ingin menyelamatkan spesies elang Jawa saja, karena selain sudah sangat langka, elang jawa juga terkenal dengan bentuknya yang cantik, namun melihat kondisi jenis elang lainnya yang sudah mulai punah, tidak mungkin kan kita harus menunggu cantik dulu, baru kita selamatkan,” ujar Gunawan, Direktur Suaka Elang.
Suaka Elang yang berada di dalam wilayah taman nasional berbatasan dengan wilayah adminstrasi kampung Loji, Desa Pasir Jaya, Kecamatan Cigombong, Bogor Jawa Barat ini memiliki beberapa fasilitas yaitu information centre yang dibangun oleh pemerintah taman nasional gunung halimun salak, beberapa kandang yakni kandang transit, kandang display, dan pre release cages yang dibangun oleh Chevron Indonesia. Kemudian habitation cage yang didukung oleh International Animal Rescue (IAR) Indonesia.
Saat ini ada dua ekor elang yang siap untuk di lepasliarkan, yakni seekor elang Jawa dan seekor elang Brontok. Khusus untuk Elang Brontok (Spizeatus cirrhatus) pihak Suaka masih belum memutuskan akan dilepaskan di daerah mana, mengingat spesies elang tersebut jika dilepas di Jawa akan menjadi kompetitor yang menghambat populasi Elang Jawa.
“Elang Brontok dan elang Jawa merupakan dua spesies yang berasal dari genus yang sama yaitu spezaitus, sehingga mereka memiliki pola konsumsi yang sama. Hanya saja populasi elang Brontok lebih banyak dibanding elang Jawa sehingga di alam bebas mereka akan menjadi kompetitor,” kata Gunawan.
“Selain itu Elang Jawa butuh 70 persen hutan alami, sedangkan Elang Brontok hanya butuh 30 persen hutan yang alami, sisanya bisa saja hutan produksi atau perkebunan,” lanjut laki-laki yang menjadi volunter di Suaka Elang tersebut.
Cara hidup elang Jawa yang pemilih menyebabkannya menjadi langka, selain itu Elang Jawa juga hanya bertelur dua tahun sekali dengan jumlah paling banyak dua butir, namun dalam perkembangannya biasanya hanya satu butir yang bisa menetas dan tumbuh menjadi elang baru. Dan sampai saat ini belum ditemukan cara yang efektif untuk mengembangbiakkan elang Jawa dengan cara penyuntikan sperma atau semacamnya.
“Elang jawa mempunyai ritual yang unik selama masa briding, biasanya memakan waktu yang cukup lama, elang jantan dan betina akan melewatkan waktu dengan terbang bersama-sama sepanjang hari, berputar-putar di angkasa, dan akhirnya bertelur di sarang yang sama, mereka tidak pernah berpindah-pindah sarang,” terang Gunawan.
Untuk mengenali sarang yang masih dipakai, menurut Gunawan dapat dilihat dari tampilan sarangnya. “Jika ada daun-daun hijau di sarang tersebut, maka hal itu manandakan sarang itu masih aktif,” lanjutnya.
Komitmen Suaka Elang dalam konservasi elang bukan hanya sebatas masa rehabilitasi namun sampai elang tersebut dilepasliarkan akan selalu di monitoring selama satu bulan.
“Sebelum di lepas, kami juga selalu mengadakan sosialisasi kepada ma-syarakat sehingga masyarakat mengetahui pentingnya kemerdekaan elang tersebut, sehingga masyarakat tidak akan menganggunya, Jadi,biarkan me-reka tetap berada di habitatnya,” harapnya. (tya-gsj/new)
0 komentar:
Posting Komentar