Tahura SSH Berpotensi sebagai Tempat Konservasi Raptor
PENGAMATAN: Green Student Journalist (GSJ), Raptor Indonesia (RAIN), Suaka Elang, Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) beserta beberapa Kelompok MAPALA yang ada di Riau sedang melakukan pengamatan terhadap aneka jenis raptor di Tahura.
Di balik teduhnya Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, ternyata masih tersimpan aneka jenis Raptor (hewan pemangsa-red) yang menetap di sana, salah satunya adalah elang. Hewan yang termasuk dalam kategori dilindungi itu ada beberapa jenis yang disinyalir menetap di area tersebut.
Laporan Andi Noviriyanti, Minas andinoviriyanti@riaupos.com
Berkurangnya potensi hutan mengakibatkan berbagai Raptor semakin berkurang. Elang salah satunya. Hewan yang terdiri dari bermacam ragam spesies tersebut semakin berkurang populasinya seiring dengan berkurangnya luas hutan di Riau. Namun beberapa pengamat Raptor masih optimis dengan keberadaan elang di Riau. Rabu (9/3) lalu, Raptor Indonesia (RAIN), Suaka Elang, Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH), beberapa kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dan Green Student Journalist (GSJ) melakukan pengamatan elang di kawasan Tahura.
Dengan bekal beberapa buah monocular dan binocular (teropong-red ) rombongan yang berjumlah sekitar 40 orang tersebut memasuki kawasan Tahura. Belum sempat masuk ke dalam wilayah hutan, beberapa peserta rombongan mendengar gemerisik pepohonan, dan ketika diamati ada tiga ekor Burung Rangkong yang bertengger disana.
“Kehadiran burung Rangkong menandakan bahwa masih banyak pakan bagi para Raptor untuk menetap di sini,” ujar Zaini Rahman, Koordinator RAIN.
Menurut Gunawan Direktur Suaka Elang, ada dua faktor yang menyebabkan elang menetap atau bermigrasi ke suatu tempat. Faktor tersebut antara lain faktor pakan, dan faktor pepohonannya yang memungkinkan dibuat sarang. Selain itu elang juga memiliki hunting area atau daerah perburuan dan cord area atau disebut juga daerah kekuasaaan. Biasanya elang yang berasal dari dua jenis yang berbeda tidak akan membangun sarang yang berdekatan, sehingga butuh hutan yang cukup luas untuk menemukan sarang elang yang mempunyai jenis berbeda.
“ Elang hanya makan lima sampai enam kali tiap satu minggu. Namun ketika mempunyai anak, elang berburu tiap hari, kadang-kadang malah dua kali berburu perhari, sehingga membutuhkan area yang luas untuk wilayah perburuannya,” papar Gunawan.
Kondisi Tahura yang termasuk dalam posisi hutan sekunder, dan area hutannya tidak begitu besar lagi, karena dirambah oleh warga dan dijadikan lahan untuk perkebunan sawit. Dahulu Tahura memiliki area yang sangat luas sekitar 6.172 hektar kini kawasan tersebut telah berkurang sekitar 3000 hektar, namun hal itu masih menjanjikan area yang cukup untuk menjadi tempat berburu dan membangun sarang elang-elang. Bahkan menurut pengakuan Apep, koordinator lapangan pusat informasi Tahura SSK, Elang Hitam masih sering terlihat di kawasan dalam hutan, biasanya jika tidak terlihat pun sesekali suara nya masih sering terdengar.
“Elang masih sering terlihat di dalam hutan, bahkan sesekali sering menyambar ayam yang berada di perkampungan warga,” jelasnya.
Beranjak siang, perjalanan di teruskan dengan mengikuti field trip ke dalam hutan. Perjalanan sengaja di teruskan setelah matahari mulai meninggi. Menurut keterangan Gunawan, elang biasanya muncul ketika cuaca sudah mulai menghangat sekitar pukul 9.00 sampai 11.00 WIB waktu setempat.
Perjalanan melewati berbagai jenis pohon seperti Gaharu, Kulim, Mahoni dan berbagai jenis pohon lainnya. Setelah melewati undak-undakan menanjak, maka perjalanan rombongan berhenti di daerah camp area. Pengamatan atau identifikasi elang hanya bisa di lakukan di daerah yang luas dan lapang.
Ternyata mengamati hewan liar seperti elang, membutuhkan kesabaran dan ketelitian panca indera. Berjam-jam rombongan mengamati ke berbagai arah, mencari-cari ke berbagai penjuru mata angin dengan mata telanjang maupun dengan memakai monocular dan binocular. Sampai bercucuran keringat dan berpindah-pindah ke berbagai sudut tanah lapang, belum juga di temukan sosok hewan yang akan di identifikasi.
Saat beberapa peserta rombongan mulai bosan dan berteduh di bawah pokok pohon-pohon besar dan sebagian berteduh dibalai besar yang ada di area camp, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara kulik elang dikejauhan. Para peserta terhenyak, Gunawan tersenyum senang dan segera memindai arah suara dengan monocular. Monocular mampu menangkap objek dengan jarak pandang yang cukup jauh dan menambah besaran 20 sampai 40 kali besar ukuran objek yang sebenarnya.
Setelah diamati, ternyata elang yang bertengger di pucuk pohon dan tertangkap penglihatan dengan monocular tersebut dadanya berwarna putih agak kecoklatan dengan bagian kepala berwarna hitam dan dilengkapi dengan jambul kecil. Setelah diidentifikasi elang tersebut merupakan jenis Elang Sikep Madu Asia (Pernis ptylorhinchus). Elang ini merupakan elang jenis migran dan makanan utamanya adalah larva lebah.
Makin siang ternyata makin banyak elang-elang yang keluar dari rerimbunan pohon, mereka berputar-putar di udara, ada yang diam saja, namun ada yang bersuara riuh. Elang yang tidak mengeluarkan suara merupakan jenis elang brontok (Spizaetus cirrhatus), sedangkan yang bersuara riuh merupakan jenis elang ular bido (Spilornis cheela bido).
Total yang di temukan selama identifikasi, ada lima ekor elang. Dua elang ular bido, satu elang b rontok dan dua elangmadu sikep asia. Elang ular bido dan brontok merupakan jenis elang menetap. Sementara elang m adu sikep asia merupakan jenis elang migran.
Melihat elang-elang yang masih bertahan hidup di Tahura, dan melihat potensi hutannya yang masih memiliki pepohonan berusia tua, Gunawan optimis jika Tahura ini nantinya akan menjadi tempat pelepasliaran elang dari pusat rehabilitasi.(asrul-gsj/new)
0 komentar:
Posting Komentar