Lahan Basah Terdegradasi Sumbang Perubahan Iklim
Selamatkan Lahan Mangrove di Pesisir Pantai
Selamatkan Lahan Mangrove di Pesisir Pantai
PEMBIBITAN BAKAU : Jurnalis bersama dengan Center for international forestry research (CIFOR)mengunjungi lokasi pembibitan bakau, di Desa Lembongan, Nusapenida Bali.
Laporan ERWAN SANI, Bali erwansani@riaupos.com
Dengan semakin padatnya pemukiman penduduk yang ada dipesisir pantai merupakan ancaman tersendiri. Bukan itu saja beberapa lahan mangrove yang ada di pesisir pantai juga terancam dengan pengalihan lahan menjadi lahan pengembangan infrastruktur, tambak udang atau kepiting. Dan ini terbukti di pesisir pantai Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Kabupaten Bengkalis, Pelalawan, Siak, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, dan Kota Dumai
Dulunya banyak lahan bakau atau sejenis pohon mangrove lainnya saat sekarang sudah dibangun tambak udang, pemukiman masyarakat dan juga menjadi pembangunan infrastruktur lainnya. Namun tanpa disadari dengan pengrusakan lahan-lahan mangrove tersebut, secara otomatis merusak lahan mangrove atau sering disebut lahan basah yang secara nyata sama halnya dengan hutan gambut yang sangat banyak menyerap emisi karbon dan juga menyimpan karbon.
Ternyata kegiatan terjadinya degradasi hutan basah atau hutan mangrove ini bukan di Riau saja tapi di Indonesia secara umum dan terparah degradasinya di Pulau Kalimantan. Dengan terbuktinya hutan mangrove banyak menyimpan karbon maka permasalahan atau pencegahan penebangan dan pengeringan hutan mangrove dibicarakan secara internasional di Bali baru-baru ini. Dan menjadi referensi para peniliti hutan di dunia terutama di Indonesia.
Berdasarkan laporan penelitian International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan spesialis lahan basah ESA PWA, agar Indonesia khususnya pemerintah menyelamatkan lahan basah di sekitar pesisir pantai, sehingga terhindar dari degradasi dan dapat meningkatkan retorasi lahan basah yang mana dapat diikutsertakan dalam strategi pengurangan emisi karbon dan dalam negosiasi iklim.
‘’Untuk pertama kalinya kami mengetahui bahwa hilangnya gas rumah kaca secara signifikan dan secara global dari pengeringan dan degradasi lahan basah di wilayah pesisir dan pengeringan tanah yang kaya akan organik secara terus menerus dapat mengeluarkan karbon selama beberapa dekade,’’ kata Direktur Climate Change Services dari ESA PWA, Stephen Crooks, yang telah melihat 15 delta di wilayah pesisir . ‘’Emisi akan meningkat jika berkurang lahan basah,’’ jelasnya.
Berdasarkan penelitian tersebut, telah diketahui pengrusakan lahan basah atau tingkat degradasi lahan basah di Indonesia terutama di daerah pesisir mencapai empat kali lipat dibandingkan dari hutan tropis. ‘’Pengrusakan 20 persen lahan bakau bisa menghasilkan karbon yang terakumulasi selama beberapa ribuan tahun. Dan hal ini akan mengganggu perlindungan alamiah terhadap gelombang badai dan kejadian cuaca lainnya.
Dari 15 delta yang diteliti di dunia termasuk di Indonesia hingga seratus tahun terakhir sudah menghasilkan lebih 500 juta ton CO2, terutama setiap kali lahan-lahan basah dikeringkan.
Menurut Stephen Crooks, hutan bakau, rawa pasang surut dan padang lamun bisa menghilangkan karbon di atmosfir dan menguncinya dalam tanah, yang mana dapat bertahan sampai beribu-ribu tahun. Tidak seperti hutan daratan, ekosistem laut secara terus menerus membangun kantung-kantu karbon, menyimpan blue karbon dalam jumlah besar ke sedimen dasar laut. Ketika sistem tersebut terdegradasi karena pengeringan atau perubah di pertanian dan budidaya perairan, maka mereka akan memancarkan sejumlah besar CO2 ke atmosfir secara terus menerus.
‘’Melindungi ekosistem laut dan blue carbon dapat menjadi solusi yang saling menguntungkan untuk masyarakat,’’ ungka Senior Coastal and Marine Spesialis, Marea Hatziolos dalam seminar Tropical Weland Ecosystems of Indonesia dan pelatihan REDD+ dan Lahan Basah bagi jurnalis di Bali, Senin-Kamis (11-14/4).
Hal serupa disampaikan Peniliti Senior CIFOR, Daniel Murdiyarso, menurutnya kepadatan karbon di hutan bakau lebih dari empat kali lebih tinggi dibandingkan hutan tropis di dataran tinggi. Jadi jika perusakan dan degradasi ekosistem bakau diperkirakan menhasilkan sampai 10 persen emisi deforestasi global, walaupun luasnya hanya 0,7 persen dari total daerah hutan tropis. ‘’Di hutan karbon banyak tersimpan di bawah pohonnya ketimbang di atas permukaan tanah dan air,’’ jelasnya.
Secara gamblang Mudiyarso menegaskan, untuk tahun 2007 lalu terutama di salah satu pulau terbesar di Indonesia yaitu Kalimantan telah kehilangan 7,92 persen hutan bakau.
Upaya Mengurangi Emisi Kehutanan di Indonesia
Agar mencapai tujuan memotong emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional, maka Indonesia dan seluruh Provinsi, kabupaten/kota hingga ke polosok desa harus bergandeng bahu dan saling memperhatikan hutan. Salah satu isu utama yang harus diperhatikan tentunya harus dijalankan bersama.
Kemudian agar Reducing Emissions form Deforestation and Forest Degradation an Enhanching Carbon stock in Developing Caountries REDD+ atau (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan penambahan cadangan karbon hutan di negara bekembang,red). Tujuan REDD+ ini diajukan dunia terhadap negara berkembang untuk memperlambat perubahan iklim dengan membayar agar penebangan hutan mereka dihentikan.
Oleh sebab itu, kata Levania Santoso perlu diperhatikan beberapa isu, terutama berbagai upaya mencapai penguranga emisi secara signifikan melalui program perluasan usaha penanaman saja tidak akan cukup, karena jumlah pohon yang harus ditanam untuk mencapai target pengurangan emisi memerlukan areal dua kali lipat wilayah Indonesia.
Selanjutnya Indonesia harus menghentikan konversi hutan jika Indonesia ingin mencapai pengurangan emisi sektor kehutanan. Karena perluasan areal produksi bahan pangan, kelapa sawit, kayu/bubur kayu dapat menghambat upaya pengurangan emisi jika perluasan ini dilakukan melalui deforestasi tambahan.
Kemudian agar REDD+ tercapa agar melakukan penanaman kembali di lahan-lahan terdegradasi akan memberikan kontribusi pengurangan eemisi. Jika suatu hutan tanaman industri awalnya ditujukan untuk pemenuhan keperluan bubur kayu, maka dengan menanam setengah bagian dari lahan terdegradasi akan dapat memenuhi 8-12 persen target pengurangan emisi.
Sedangkan hutan tanaman industri baru yang ditujukan untuk keperluan selain bubur kayu akan berrkontrbusi sebesar 22-33 persen pengurangan emisi yang diperlukan.
Daniel Murdiyarso juga menegaskan, berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong pembangunan hutan tanaman di atas lahan yang terdegradasi akan gagal mencapai pengurangan emisi tanpa adanya penegakan hukum, pemantauan dan pengamanan yang efektif untuk mencegah berbagai kegiatan illegal. Kemudian harus ada insentif bagi pemerintah daerah dan pemnagku kepentingan lokal yang telah melestarikan hutan dan lahan gambut mereka serta berbagai program dan kebijakan yang konsisten di berbagai sektor lembaga.
Menurutnya Indonesia mempunyai berbagai pilihan dalam sektor-sektor berkaitan dengan pemanfaatan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land use, land use change and foretry ) untuk mengurangi emisi. Dan pilihan-pilihan ini dapat ditindaklanjuti. Salah satunya penghentian atau pengurangan kebakaran gambut, penghentian pengeringan lahan gambut dan lahan basah seperti mangrove.
Kemudian Mudiyarso juga meminta, agar kebijakan implementasi REDD+ yang memperioritaskan ekosistem yang kaya karbon seperti gambut dan bakau. Memberikan keuntungan tambahan (co benefit) seperti keuntungan keanekaragaman hayati. ‘’Kalau ingin terwujud REDD+ harus memperioritaskan hutan gambut dan bakau dan yang ada harus dijaga dan jangan dimusnahkan,’’ tegasnya.
Selanjutnya harus ada perencanaan yang baik dari pemerintah. Terutama dalam membuat peraturan daerah harus harmonis dan pro lingkungan, tata kelola yang baik. Kemudian mematuhi tata ruang yang jelas dan tanpa kecuali. ***
0 komentar:
Posting Komentar