Minggu, 15 Mei 2011

GSJ News: Surga di Kawasan Konservasi

foto: Asrul rahmawati for riau pos
Tasik: Hamparan safana berkaca di tasik Cagar Biosfer GSK-BB.

Sejauh mata memandang hanya ada hamparan hijau. Sepanjang sungai yang beriak lembut jajaran rumput padi-padi terlihat simetris dengan rimbunan Rasau dan Bakung. Langit cerah dengan burung-burung yang terbang menghiasainya, semuanya terpantul serupa lantai kaca diatas jernihnya Tasik.
Memasuki kawasanCagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSK-BB), suasana sejuk akan langsung terasa karena di sepanjang sisi sungainya terdapat pohon-pohon besar yang sebagian menutup langit-langit sungai. Selasa (2/5) lalu, Green Student Journalists (GSJ) melakukan field trip ke kawasan konservasi tersebut atas undangan dari Center for tropical Peat Swamp Restoration and Conservation (CTPRC) yang sedang meneliti dan melakukan restorasi ekosistem hutan.
Perjalanan dimulai dari Desa Temiang, kecamatan Bukit Batu kabupaten Bengkalis menuju Sundak Research Shelter  (pemondokan Sundak). Yakni markas para peneliti.
Kami (GSJ, red) menumpangi  pompong beserta rombongan, yang terdiri dari Komunitas masyarakat Peduli Hutan (KMPH), Peneliti dari Kyoto university, mahasiswi tingkat akhir Universitas Andalas, perwakilan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), pemuka masyarakat Tanjung Laban (tetangga Desa Temiang-red) serta sesepuh masyarakat Desa Temiang.
Sebelum sampai ke core area (area inti)  yang luasnya mencapai 21.500 hektare, kami harus melewati buffer zone (zona penyangga) dulu. Zona ini  merupakan kawasan yang berdampingan dengan area inti. Buffer zone boleh dimanfaatkan oleh warga.  Namun hanya boleh untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi.
Kamis, salah satu tetua kampung Tamiang menceritakan bahwa, tepian sungai itu biasanya juga ditanami padi setiap satu tahun sekali.
Memasuki area inti, pohon-pohon di tepian sungai makin rimbun dan tinggi, dengan usia yang sudah berpuluh-puluh tahun. Bahkan pas di perbatasannya, dahan pohon-pohon besar menyatu di langit-langit sungai serupa pintu gerbang, dengan burung-burung berwarna biru terbang rendah disekitarnya. Laiknya pintu gerbang menuju sorga, karena keindahan dan suasanan alamnya.
Di beberapa tempat kami menemukan pohon karet yang berusia sangat tua. Kamis yang menerangkan, pohon karet itu ditanam penduduk jauh sebelum area inti itu di konservasi menjadi hutan lindung.
“Itu berarti daerah ini lebih dulu ditemukan oleh masyarakat. Dalam keyakinan orang Melayu lahan itu berarti milik mereka,” tutur Atuk yang mengaku lahir tahun 1935 dan saat ini dikaruniai lima orang anak, sebelas cucu, dan lima orang cicit ini.
Menjelang  Asar, kami sampai di Sundak Research. Pondok kecil dengan bangunan semi terbuka beratapkan daun rumbia yang dianyam itu tegak persis di bibir sungai. Jika turun dari tangganya saja, kaki akan langsung menyentuh air sungai. Di sini rombongan beristirahat.
Malamnya dengan diterangi bolham lampu 80 watt dari mesin genset kecil, KMPH sebagai tuan rumah menyajikan masakan ikan tapah yang merupakan ikan khas di sungai tersebut. Usai makan malam, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi mengenai tindak lanjut restorasi hutan bersama KMPH, CTPRC dan rombongan yang ikut dalam field trip tersebut.
 Suara-suara hewan di sekitar pondok mendominasi suasana malam. Taburan bintang di langit juga terlihat jelas dari pondok yang dindingnya hanya setengah. Listrik dari genset segera dimatikan setelah diskusi usai, sehingga pondokan hanya diterangi lampu minyak yang meliuk-liuk ditiup angin hutan.
Rabu (3/5) pagi, waktu masih menunjukkan pukul 7.30 WIB, perjalanan dilanjutkan menuju tasik dengan mengarungi sungai menggunakan pompong. Menurut keterangan Atuk, ada lima tasik yang ada di kawasan blok Bukit Batu tersebut.
Sekitar satu jam perjalanan  kami sampai di Tasik  Bonsu. Begitu melihat sekeliling yang terlihat adalah pantulan langit biru dan beberapa ekor burung di atas air. Di bibir sungai rimbunan rasau serta bakung melambai-lambai tertiup angin pagi. Begitu juga hamparan rumput padi-padi dengan bunganya yang berwarna putih. Di beberapa tempat juga terlihat pondok apung para nelayan yang menangkap ikan dengan bubu atau lukah.”Kami pulang ke rumah dua  minggu dalam sebulan, sisanya dihabiskan di pondok-pondok apung itu,” terang Yasar, salah seorang  nelayan yang ikut di KMPH.
“Dulu seminggu bisa sampai dapat 100 kilo ikan, sekarang paling banyak 15 sampai 20 kilo kadang-kadang cuma cukup untuk lauk saja,” lanjutnya.
Sampai ke tasik selanjutnya,  Tasik Baru pemandangan masih sama. Sampai di tasik Tomoyan, ada dua buah anak sungai yang bermuara  dari tasik menjalar ke dua arah yang berlawanan, Tomoyan lebih luas dibandingkan kedua tasik sebelumnya.
Menurut Atuk, Tasik-tasik tersebut sudah ada sejak Ia masih kecil dan akan sangat menarik jika dijadikan tempat wisata. Pasalnya pemandangan seperti itu tidak mudah dijumpai ditempat lain. Beberapa pekan lalu, Atuk juga menyebutkan bahwa  peneliti dari Jepang dan Jerman yang mengunjungi tempat itu merasa takjub dengan lanskap alam ini.
“Bikin perahu agak lima biji, tempat ini bisa jadi tempat wisata yang  menarik,”ujar Atuk.
Namun, impian Atuk, juga impian masyarakat sekitar untuk mengembangkan tempat itu menjadi tempat wisata tak semudah angan-angan. Untuk masuk ke kawasan konservasi saja contohnya harus memiliki izin yang lengkap dari BBKSDA. Selain itu dala hal ini, upaya pemerintah untuk memberikan dukungan juga sangat diperlukan. (asrul-gsj)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province