Habitat Udang Galah Terancam
UDANG GALAH: Habitat udang galah hidup pada dua habitat, hidup di air payau dan kembali ke air tawar. Kehidupannya kini terancam karena habitatnya terganggu.
Aliran air Sungai Kampar sangat deras, Rabu ((7/12) lalu. Cuaca siang itu hujan rintik-rintik. Riau Pos bersama dengan salah seorang masyarakat yang tinggal di tepian Sungai Kampar, Muhammd Syukri (53) menggunakan sampan terus mengayuh tongkat untuk menelusuri sungai yang memiliki potensi perikanan itu. Termasuk udang galah dan ikan patin kualo.
Laporan Mashuri Kurniawan,Pelalawan
Laporan Mashuri Kurniawan,Pelalawan
mashurikurniawan@riaupos.co.id
Perjalanan dimulai dari tepian sungai yang terletak di Simpang Kualo, Desa Kuala Terusan, Kecamaatan Pangkalankerinci. Dari Ibu Kota Kabupaten Pelalawan berjarak 10 KM. Disepanjang tepian sungai terlihat jelas pemandangan hijau. Pohon meranti, tembusu, durian hutan, rumput liar masih berdiri menjulang ke langit.
Hanya saja, tanaman sawit lebih banyak dari jumlah pohon yang tumbuh di tepian Sungai Kampar. Sesekali, Muhammad Syukri mengusap matanya dari air hujan. Tongkat pengayuh dengan kuat digayung. Hujan semakin deras, sampan yang ditumpangi terus bergerak. Karena, hujan deras Muhammad Syukri memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu digubuk milik masyarakat yang berada di tepian sungai.
Digubuk dengan ukuran 3x4 meter persegi ini, sudah terlebih dahulu terlihat Tarmizi (45). Tarmizi ternyata teman dekat Muhammad Syukri. Bapak dua anak ini, bercerita tentang sumber perikanan yang ada di Sungai Kampar tersebut.
Dari penuturannya, untuk udang galah dahulunya sangat banyak di Sungai Kampar tersebut. Terutama di daerah Kuala Kampar dan Teluk Meranti. Yang daerahnya berada di perbatasan antara sungai air tawar dan laut.
Tahun 1974 lalu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber perikanan di sungai itu. Pada tahun itu, udang galah sangat banyak ditemukan disepanjang Sungai Kampar. Masyarakat yang tinggal ditepian sungai begitu terbantu perekonomiannya. Seorang nelayan bisa mendapatkan penghasilan Rp500.000 hingga Rp2,2 juta dari hasil penangkapan udang galah. Walaupun sentra udang ada di Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, usaha penangkapan pada perairan sungai ini jumlahnya sangat banyak saat itu. Disebabkan sebagian besar kecamatan di Kabupaten Pelalawan dilalui oleh sungai.
Menurut Jackson (1989) dan Koeshendrajana (1997) sungai-sungai paparan banjiran tropis, seperti Sungai Kampar dan sungai-sungai lainnya yang terdapat di Kabupaten Pelalawan memberikan kontribusi yang dinamis dan produktif pada perikanan perairan umum.
Sementara, jenis ikan yag menghuni perairan umum Kabupaten Pelalawan dapat
dibedakan atas kelompok ikan sungai (white fishes), kelompok ikan danau, dan kelompok ikan rawa (black fishes). Khususnya udang galah cukup banyak ditemukan di Sungai Kampar. Udang yang memiliki ciri kepalanya berbentuk kerucut , rostrus melebar pada bagian ujungnya, bentuknya memanjang dan melengkung ke atas, pada bagian atas terdapat gigi seperti gergaji berjumlah 12 buah dan bagian bawah 11 buah, rasanya sangat gurih dan manis bila sudah di goreng.
Bentuk morfologi udang galah beruas-ruas dan tertutupi kulit luar yang keras dari chitin. Kulitnya menipis pada bagian sambungan antara ruas sehingga mudah untuk digerakan. Ruas badan terbagi atas bagian kepala (cephalus), dada(thorax), perut (abdemen) dan ekor (caudal). Bagian kepala dan dadabersatu dan disebut cephalothorac. Bagian ini dilapisi oleh kulit luar yang keras yang disebut dengan carapac.
Banyaknya udang galah ini hanya dari tahun 1974 sampai dengan 1990 an. Untuk sekarang, Muhammad Syukri mengaku sedikit sulit mendapatkan udang galah. Apalagi saat musim hujan dan banjir. Habitat udang galah seperti pepohonan yang berada ditepian sungai berkurang.
Menurut dia, tidak semua orang bisa melakukan penangkapan udang galah tersebut khususnya diperaian Sungai Kampar. Terlebih lagi sungai yang berada persis dan melintasi di sepanjang perkampungan. Kondisi ini, terjadi sejak dulu kala dan sudah turun temurun. Perlu keterampilan, umpan, dan kail khusus menangkap udang galah.
‘’Untuk menangkap ikan memang sangat mudah dik. Tapi, udang galah tidak bisa ditangkap dengan cepat. Perlu kesabaran. Terkecuali kita memancing pada lubuknya. Itupun harus pandai. Bila tidak, udang yang sudah nyangkut bisa terlepas kembali,’’ paparnya bercerita kepada Riau Pos.
Tarmizi yang mendengarkan pembicaraan ini turut memberikan pendapat tentang udang galah di Sungai kampar tersebut. Sulitnya ditemukan udang galah menurut dia, karena habitat udang galah terancam punah. Makanan mereka seperti ikan kecil, pepohonan yang tumbuh ditepian sungai sudah mulai berkurang. Termasuk, limbah yang terus dibuang ke dalam sungai.
Pencemaran limbah dan terganggunya ekosistim itulah penyebab utama berkurangnya udang galah. ‘’Ikan juga sulit mendapatkannya sekarang dik. Sungai Kampar sudah tidak lagi seperti dulu,’’ keluhnya. Kalau dahulu, sambungnya, banyak ikan dan udang galah bisa ditemukan.
Tarmizi dan Muhammad Syukri dahulunya bermata pencaharian sebagai nelayan. Sejak tahun 2001 kedua teman dekat itu tidak lagi menjadi nelayan. Mereka lebih memilih usaha perkebunan daripada menjadi nelayan. Karena bagi mereka lebih menguntungkan daripada menjadi nelayan. Kegiatan yang mereka lakukan Rabu itu hanyalah untuk mengisi waktu luang.
Waktu menunjukan pukul 14.30 WIB, hujan reda. Namun, awan masih mendung. perjalanan dilanjutkan. Muhammad Syukri bersama dengan Riau Pos mengayuh tongkat sampan. Sedangkan Tarmizi juga melanjutkan perjalanannya.
Setelah 15 menit perjalanan, Muhammad Syukri tiba-tiba berhenti disebuah rimbunan ranting kayu yang berada ditepian sungai. Ditanya mengapa berhenti? Muhammad Syukri menjawab, ditempat itu merupakan salah satu tempat udang galah, selais dan gurami.
Tali diikat diranting pohon. Tiga pancing kayu bambu-pun mulai dimainkan atau ditajur. Dengan menggunakan kail berukuran kecil dan umpan roti yang sudah bercampur terasi, Muhammad Syukri dan Riau Pos memancing dibawah pohon tersebut. Sambil menunggu pancing dimakan ikan, Muhammad Syukri mengatakan, biasanya udang galah hidup bergerombolan dibawah akar kayu.
Menurut dia lagi, perbedaan udang galah jantan dan betina terletak pada bentuk kaki jalan yang sangat besar kuat, bercapit besar, dan panjang pada udang galah jantan. Perbedaan lainnya terletak pada kepala, perut dan lubang kelamin. Perbedaan tersebut hanya bisa dilihat pada udang dewasa. Kaki jalan kedua udang jantan lebih besar dan panjang dibanding udang betina.
Setelah menunggu lama, tiba-tiba pancing bambbu milik Muhammad Syukri beregarak. Tarik menarik-pun terjadi. Selama lima menit akhirnya mata kail terangkat keatas. Tapi, bukan udang galah yang didapat, melainkan ikan selais. Giliran pancing Riau Pos yang bergerak, setelah diangkat kedalam sampan ikan gurami kecil yang terangkat.
Muhammad Syukri tampak sabar menantikan umpannya dimakan ikan dan udang galah. Berselang beberapa lama, pancing kedua bergerak dengan kuat. Kali ini Muhammad Syukri harus bekerja keras untuk mengangkat hasil pancingan. Tidak tahu apa yang berada difikirannya, yang pasti dia berusaha memainkan pancing dengan tenang.
Ternyata, pancing tersebut dimakan udang galah berukuran sebesar gelas air mineral. ‘’Kita dapat udang galah dik. Harus dimainkan pancingnya, jangan langsung disentak bisa lepas udangnya. Kalau sudah keletihan udang pasti bisa didapatkan,’’ ujarnya menceritakan tentang cara memancing udang galah.
Hari sudah sore, waktu menunjukan pukul 17.30 WIB, Riau Pos bersama Muhammad Syukri pulang dengan membawa ikan dan satu udang galah kecil. Sampan-pun digayuh kembali ke tepian Sungai Kampar. ‘’Dahulu memang banyak udang galahnya, sekarang tidak banyak lagi dik. Lumayan dapat satu ekor,’’ ujarnya.
Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau Deni Efizon pernah menyoroti kerusakan hutan rawa gambut yang telah berdampak pada menurunnya populasi udang air tawar (udang galah). Berdasarkan penelitiannya tahun 2008, bahwa pengaliran air gambut ke sungai dan pembuatan kanal-kanal di lahan gambut berdampak pada spesies udang galah di sungai.
Wakil Bupati Pelalawan, Drs H Marwan Ibrahim, Kamis (8/12) lalu mengatakan, distribusi udang galah masih bisa ditemukan di Sungai Kampar yang mengalir di Kabupaten Pelalawan. Sumber daya perikanan di sungai itu, sambungnya, dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan yang berperan sebagai faktor produksi untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang.
Pentingnya sumber daya perikanan di Kabupaten Pelalawan berdasarkan pada dua jenis ekosistem penting bagi perikanan, yakni hutan mangrove dan estuaria. Lingkungan mangrove adalah salah satu jenis lahan rawa yang terdapat di wilayah pesisir laut dengan kharakteristik yang unik. Untuk wilayah Kabupaten Pelalawan yang memiliki ekosiste mangrove terdapat di Kecamatan Teluk Meranti dan Kecamatan Kuala Kampar.
Dua kecamatan itu, sambungnya, dikenal dengan penghasil perikanan yang sangat bagus. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pelalawan terus melakukan program peningkatan sumber perikanan untuk masyarakat yang tinggal ditepian Sungai Kampar. ‘’Ikan patin, juaa, selais, udang galah dan jenis ikan lainnya, bagi yang melakukan pengembangannya akan dibantu pemerintah,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautatan Riau, Irwan Efendi mengungkapkan, sumbangan utama lingkungan mangrove bagi perikanan adalah karena lingkungan tersebut memberikan kontribusi dalam bentuk penyediaan bahan makanan berupa zat hara bagi biota-biota laut sehingga perairan di sekitarnya sangat cocok sebagai daerah asuhan bagi berbagai jenis udang dan ikan.
Selain itu, mangrove berfungsi juga sebagai penyaring bahan cemaran di perairan serta berfungsi sebagai penahan gelombang. Ekosistem estuaria mempunyai karakteristik yang unik, terutama adanya dinamika perubahan salinitas serta faktor-faktor terkait yang mempengaruhinya, termasuk dalam ekosistem estuaria adalah muara sungai, teluk pesisir, rawa pasang surut dan perairan yang terdapat di belakang tanggul pantai.
Udang galah dan ikan mencari makan didekat akar pohon yang masuk kedalam air. Untuk itulah, perlu kiranya dijaga keberlangsung ekosistim sungai dan laut di Riau. Dengan begitu, sumber perikanan bisa terus ada dan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kesejahteraan mereka.***
Perjalanan dimulai dari tepian sungai yang terletak di Simpang Kualo, Desa Kuala Terusan, Kecamaatan Pangkalankerinci. Dari Ibu Kota Kabupaten Pelalawan berjarak 10 KM. Disepanjang tepian sungai terlihat jelas pemandangan hijau. Pohon meranti, tembusu, durian hutan, rumput liar masih berdiri menjulang ke langit.
Hanya saja, tanaman sawit lebih banyak dari jumlah pohon yang tumbuh di tepian Sungai Kampar. Sesekali, Muhammad Syukri mengusap matanya dari air hujan. Tongkat pengayuh dengan kuat digayung. Hujan semakin deras, sampan yang ditumpangi terus bergerak. Karena, hujan deras Muhammad Syukri memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu digubuk milik masyarakat yang berada di tepian sungai.
Digubuk dengan ukuran 3x4 meter persegi ini, sudah terlebih dahulu terlihat Tarmizi (45). Tarmizi ternyata teman dekat Muhammad Syukri. Bapak dua anak ini, bercerita tentang sumber perikanan yang ada di Sungai Kampar tersebut.
Dari penuturannya, untuk udang galah dahulunya sangat banyak di Sungai Kampar tersebut. Terutama di daerah Kuala Kampar dan Teluk Meranti. Yang daerahnya berada di perbatasan antara sungai air tawar dan laut.
Tahun 1974 lalu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber perikanan di sungai itu. Pada tahun itu, udang galah sangat banyak ditemukan disepanjang Sungai Kampar. Masyarakat yang tinggal ditepian sungai begitu terbantu perekonomiannya. Seorang nelayan bisa mendapatkan penghasilan Rp500.000 hingga Rp2,2 juta dari hasil penangkapan udang galah. Walaupun sentra udang ada di Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, usaha penangkapan pada perairan sungai ini jumlahnya sangat banyak saat itu. Disebabkan sebagian besar kecamatan di Kabupaten Pelalawan dilalui oleh sungai.
Menurut Jackson (1989) dan Koeshendrajana (1997) sungai-sungai paparan banjiran tropis, seperti Sungai Kampar dan sungai-sungai lainnya yang terdapat di Kabupaten Pelalawan memberikan kontribusi yang dinamis dan produktif pada perikanan perairan umum.
Sementara, jenis ikan yag menghuni perairan umum Kabupaten Pelalawan dapat
dibedakan atas kelompok ikan sungai (white fishes), kelompok ikan danau, dan kelompok ikan rawa (black fishes). Khususnya udang galah cukup banyak ditemukan di Sungai Kampar. Udang yang memiliki ciri kepalanya berbentuk kerucut , rostrus melebar pada bagian ujungnya, bentuknya memanjang dan melengkung ke atas, pada bagian atas terdapat gigi seperti gergaji berjumlah 12 buah dan bagian bawah 11 buah, rasanya sangat gurih dan manis bila sudah di goreng.
Bentuk morfologi udang galah beruas-ruas dan tertutupi kulit luar yang keras dari chitin. Kulitnya menipis pada bagian sambungan antara ruas sehingga mudah untuk digerakan. Ruas badan terbagi atas bagian kepala (cephalus), dada(thorax), perut (abdemen) dan ekor (caudal). Bagian kepala dan dadabersatu dan disebut cephalothorac. Bagian ini dilapisi oleh kulit luar yang keras yang disebut dengan carapac.
Banyaknya udang galah ini hanya dari tahun 1974 sampai dengan 1990 an. Untuk sekarang, Muhammad Syukri mengaku sedikit sulit mendapatkan udang galah. Apalagi saat musim hujan dan banjir. Habitat udang galah seperti pepohonan yang berada ditepian sungai berkurang.
Menurut dia, tidak semua orang bisa melakukan penangkapan udang galah tersebut khususnya diperaian Sungai Kampar. Terlebih lagi sungai yang berada persis dan melintasi di sepanjang perkampungan. Kondisi ini, terjadi sejak dulu kala dan sudah turun temurun. Perlu keterampilan, umpan, dan kail khusus menangkap udang galah.
‘’Untuk menangkap ikan memang sangat mudah dik. Tapi, udang galah tidak bisa ditangkap dengan cepat. Perlu kesabaran. Terkecuali kita memancing pada lubuknya. Itupun harus pandai. Bila tidak, udang yang sudah nyangkut bisa terlepas kembali,’’ paparnya bercerita kepada Riau Pos.
Tarmizi yang mendengarkan pembicaraan ini turut memberikan pendapat tentang udang galah di Sungai kampar tersebut. Sulitnya ditemukan udang galah menurut dia, karena habitat udang galah terancam punah. Makanan mereka seperti ikan kecil, pepohonan yang tumbuh ditepian sungai sudah mulai berkurang. Termasuk, limbah yang terus dibuang ke dalam sungai.
Pencemaran limbah dan terganggunya ekosistim itulah penyebab utama berkurangnya udang galah. ‘’Ikan juga sulit mendapatkannya sekarang dik. Sungai Kampar sudah tidak lagi seperti dulu,’’ keluhnya. Kalau dahulu, sambungnya, banyak ikan dan udang galah bisa ditemukan.
Tarmizi dan Muhammad Syukri dahulunya bermata pencaharian sebagai nelayan. Sejak tahun 2001 kedua teman dekat itu tidak lagi menjadi nelayan. Mereka lebih memilih usaha perkebunan daripada menjadi nelayan. Karena bagi mereka lebih menguntungkan daripada menjadi nelayan. Kegiatan yang mereka lakukan Rabu itu hanyalah untuk mengisi waktu luang.
Waktu menunjukan pukul 14.30 WIB, hujan reda. Namun, awan masih mendung. perjalanan dilanjutkan. Muhammad Syukri bersama dengan Riau Pos mengayuh tongkat sampan. Sedangkan Tarmizi juga melanjutkan perjalanannya.
Setelah 15 menit perjalanan, Muhammad Syukri tiba-tiba berhenti disebuah rimbunan ranting kayu yang berada ditepian sungai. Ditanya mengapa berhenti? Muhammad Syukri menjawab, ditempat itu merupakan salah satu tempat udang galah, selais dan gurami.
Tali diikat diranting pohon. Tiga pancing kayu bambu-pun mulai dimainkan atau ditajur. Dengan menggunakan kail berukuran kecil dan umpan roti yang sudah bercampur terasi, Muhammad Syukri dan Riau Pos memancing dibawah pohon tersebut. Sambil menunggu pancing dimakan ikan, Muhammad Syukri mengatakan, biasanya udang galah hidup bergerombolan dibawah akar kayu.
Menurut dia lagi, perbedaan udang galah jantan dan betina terletak pada bentuk kaki jalan yang sangat besar kuat, bercapit besar, dan panjang pada udang galah jantan. Perbedaan lainnya terletak pada kepala, perut dan lubang kelamin. Perbedaan tersebut hanya bisa dilihat pada udang dewasa. Kaki jalan kedua udang jantan lebih besar dan panjang dibanding udang betina.
Setelah menunggu lama, tiba-tiba pancing bambbu milik Muhammad Syukri beregarak. Tarik menarik-pun terjadi. Selama lima menit akhirnya mata kail terangkat keatas. Tapi, bukan udang galah yang didapat, melainkan ikan selais. Giliran pancing Riau Pos yang bergerak, setelah diangkat kedalam sampan ikan gurami kecil yang terangkat.
Muhammad Syukri tampak sabar menantikan umpannya dimakan ikan dan udang galah. Berselang beberapa lama, pancing kedua bergerak dengan kuat. Kali ini Muhammad Syukri harus bekerja keras untuk mengangkat hasil pancingan. Tidak tahu apa yang berada difikirannya, yang pasti dia berusaha memainkan pancing dengan tenang.
Ternyata, pancing tersebut dimakan udang galah berukuran sebesar gelas air mineral. ‘’Kita dapat udang galah dik. Harus dimainkan pancingnya, jangan langsung disentak bisa lepas udangnya. Kalau sudah keletihan udang pasti bisa didapatkan,’’ ujarnya menceritakan tentang cara memancing udang galah.
Hari sudah sore, waktu menunjukan pukul 17.30 WIB, Riau Pos bersama Muhammad Syukri pulang dengan membawa ikan dan satu udang galah kecil. Sampan-pun digayuh kembali ke tepian Sungai Kampar. ‘’Dahulu memang banyak udang galahnya, sekarang tidak banyak lagi dik. Lumayan dapat satu ekor,’’ ujarnya.
Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau Deni Efizon pernah menyoroti kerusakan hutan rawa gambut yang telah berdampak pada menurunnya populasi udang air tawar (udang galah). Berdasarkan penelitiannya tahun 2008, bahwa pengaliran air gambut ke sungai dan pembuatan kanal-kanal di lahan gambut berdampak pada spesies udang galah di sungai.
Wakil Bupati Pelalawan, Drs H Marwan Ibrahim, Kamis (8/12) lalu mengatakan, distribusi udang galah masih bisa ditemukan di Sungai Kampar yang mengalir di Kabupaten Pelalawan. Sumber daya perikanan di sungai itu, sambungnya, dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan yang berperan sebagai faktor produksi untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang.
Pentingnya sumber daya perikanan di Kabupaten Pelalawan berdasarkan pada dua jenis ekosistem penting bagi perikanan, yakni hutan mangrove dan estuaria. Lingkungan mangrove adalah salah satu jenis lahan rawa yang terdapat di wilayah pesisir laut dengan kharakteristik yang unik. Untuk wilayah Kabupaten Pelalawan yang memiliki ekosiste mangrove terdapat di Kecamatan Teluk Meranti dan Kecamatan Kuala Kampar.
Dua kecamatan itu, sambungnya, dikenal dengan penghasil perikanan yang sangat bagus. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pelalawan terus melakukan program peningkatan sumber perikanan untuk masyarakat yang tinggal ditepian Sungai Kampar. ‘’Ikan patin, juaa, selais, udang galah dan jenis ikan lainnya, bagi yang melakukan pengembangannya akan dibantu pemerintah,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautatan Riau, Irwan Efendi mengungkapkan, sumbangan utama lingkungan mangrove bagi perikanan adalah karena lingkungan tersebut memberikan kontribusi dalam bentuk penyediaan bahan makanan berupa zat hara bagi biota-biota laut sehingga perairan di sekitarnya sangat cocok sebagai daerah asuhan bagi berbagai jenis udang dan ikan.
Selain itu, mangrove berfungsi juga sebagai penyaring bahan cemaran di perairan serta berfungsi sebagai penahan gelombang. Ekosistem estuaria mempunyai karakteristik yang unik, terutama adanya dinamika perubahan salinitas serta faktor-faktor terkait yang mempengaruhinya, termasuk dalam ekosistem estuaria adalah muara sungai, teluk pesisir, rawa pasang surut dan perairan yang terdapat di belakang tanggul pantai.
Udang galah dan ikan mencari makan didekat akar pohon yang masuk kedalam air. Untuk itulah, perlu kiranya dijaga keberlangsung ekosistim sungai dan laut di Riau. Dengan begitu, sumber perikanan bisa terus ada dan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kesejahteraan mereka.***
0 komentar:
Posting Komentar