Selasa, 15 Desember 2009

Tatkala Sakai Dicabik-cabik Kebijakan

Sungai kering, tapi sewaktu-waktu meluap. Hutan punah, yang ada perkebunan sawit dan karet milik orang asing. Jangan sekali-kali menggugat, ancaman hukum pun mengintai. Sakai kini hidup terjepit, seperti bentuk rumah mereka yang sempit. Diam tak berarti setuju, tetapi karena lemah dan buntu.

Sutarmo (76), sosok tua yang hidup sederhana ini duduk tenang menghadap jalan raya. Perubahan zaman, sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan kini, sudah dilaluinya bersama Sakai.

Sejak jalan lintas Duri-Pekanbaru masih tanah liat kuning yang disiram minyak mentah Chevron, Sutarmo sudah ditugaskan Departemen Sosial pusat membina Suku Sakai. Sakai adalah bagian hidupnya. Bahkan orang lain menyebutnya lebih Sakai dari orang Sakai sendiri. ”He he he, aku ini hidup sejak zaman hutan masih lebat, sampai kini hutan itu pun hilang,” papar tokoh yang dijadikan rujukan penelitian Sakai, Prof Dr Parsudi Suparlan di tahun 80-an ini.

Tarmo sering dijadikan tempat bertanya kalangan orang tua Sakai. Pengalaman sejak tahun 50-an membina Sakai, membentuk kepribadian Sutarmo berbeda dengan petugas Dinas Sosial lainnya. Jangan sedikit pun Sakai disudutkan, dia akan merespon. Bahkan sejumlah anak anak Sakai yang pernah dididiknya, dengan sekolah darurat pada tahun 60-an, kini sudah ada yang menjadi guru dan ada pula yang menjadi anggota dewan.

Bukti bahwa Sutarmo disegani warga Sakai —khususnya Muara Basung, Penaso dan Sialang Rimbun dan sekitarnya—, terlihat saat Riau Pos bersama Pak Tarmo akan mewancarai sejumlah warga Sakai, mereka menyabut riang.

Awalnya, saat Riau Pos akan mewawancarai salah seorang warga Sakai, mereka enggan berkomentar, namun saat melihat Pak Tarmo turun dari mobil bersama tim peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Suska Riau, wajah warga Sakai pun berubah. Mereka menyabutkanya dengan pelukan dan tangisan, sebab sudah lama Pak Tarmo tidak mengunjungi mereka. ”Ini orang tua kami,” papar salah seorang warga setempat.

Tarmo menyesalkan kebijakan pemerintah dan pengusaha yang tidak sesuai dengan kehendak Sakai. Misalnya, pembangunan kebun karet oleh pengusaha asing, seharusnya Sakai mendapatkan haknya, yakni minimal dua hektare per KK. Tapi kenyataannya, Sakai hanya menyaksikan saja, padahal Sakai tuan rumah, atau pemilik lahan ini.

”Pernah saya tanyakan pada pihak perusahaan, saat saya masih bertugas dulu, tapi jawaban perusahaan sering tak jelas. Alasannya demi keamanan negara atau demi perusahaan asing, pokoknya perusahaan jangan diusik. Padahal keinginan kami bagaimana orang Sakai itu merasakan sedikit saja dari warisan nenek moyang mereka,” ujarnya dengan bahasa Jawa yang medok.

Tarmo tak sekuat seperti dulu, tetapi dia tetap peduli masa depan Sakai, seakan-akan beban Sakai itu masih ada di pundaknya. Hal ini terasa saat Tarmo berpendapat atau mengeluhkan masa depan anak-anak Sakai saat ini.

Prof Dr Parsudi Suparlan, ahli sosiologi Universitas Indonesia (UI) yang ditugaskan Depsos meneliti Sakai sekitar tahun 1981, hampir setahun tinggal bersama Pak Tarmo, bahkan dalam laporan penelitiannya, Parsudi sering merujuk apa yang telah dilakukan Tarmo.
Seakan-akan objek pembahasan penelitian Prof Parsudi pada Tarmo yang puluhan tahun bersama Sakai.

Demikian juga Hans, peneliti dari Jerman ini banyak menanyakan soal Sakai pada Tarmo. .
Terakhir, Direktur LPP UIN Suska Drs Husni Thamrin pun minta petunjuk ke Pak Tarmo saat menyelesaikan bukunya tentang Sakai.


Sakai Tercabik-cabik Kebijakan

Salah satu kebijakan Dinas Sosial yang dikritik Tarmo soal pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan keinginan warga Sakai. Bentuk bangunannya seharusnya tetap mempertimbangkan bangunan rumah Sakai.

Akibat kebijakan yang salah itu, banyak rumah yang dijual orang warga sakai yang mendapat jatah rumah bantuan itu. Ini terjadi berulang kali. Memang, alasan ekonomilah warga menjual rumah jatah itu, tetapi bentuk bangunan dan lokasi juga menyebabkan orang Sakai enggan tinggal di rumah bantuan.

Jika saja, pemerintah pusat (Jakarta) mau mengakomodir bentuk bangunan asli Sakai, anak cucu akan dapat melihat bangunan asli leluhur mereka. Kenyataannya, kini orang sulit menemukan bangunan bentuk asli punya orang Sakai.

Kebijakan lain yang dikritik Tarmo soal pembangunan perkebunan. Kesepakatan awal, pembangunan perkebunan di tanah ulayat Sakai ini harus memberikan dampak baik bagi mereka, tapi kenyataanya saat perkebunan sudah dibuka, seperti perkebunan karet, warga Sakai tak mendapatkan jatah lahan khusus untuk mereka.

”Mereka masih terbelakang dibandingkan pendatang yang paham perkebunan, maka sewajarnya mereka itu mendapatkan konvensasi berupakan lahan perkebunan yang dibangun pihak investor,” ujar bapak delapan anak yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi ini.

Sakai kini tak memiliki lahan sejengkal pun. Mereka kalah bersaing, sebab latar belakang mereka adalah pemburu dan memanfaatkan hasil hutan. Sementara investor hanya berurusan dengan pemerintah, bahkan di saat Orde Baru, pemerintah pusat sangat berperan, apa kata pusat, itulah yang harus dilakukan di daerah.

Ujung-ujungnya, Sakai terabaikan. Di saat perkebunan sudah memetik keuntungan dan lahan sudah semakin sempit, Sakai pun meresakan sakit. Sebab, hamparan hutan yang dulunya milik mereka, sekarang sudah beralih ke orang lain dan menghasilkan uang setiap bulannya, sementara Sakai kelaparan.

”Sakai tak mendapatkan perkebunan, jadi hidup mereka semakin gamang, karena tuntutan kehidupan yang menghendaki penghasilan tetap setiap bulan, layaknya para pemilik perkebunan,” ujarnya.

-------------------
Dikutip dari Riau Pos
Ditulis oleh Jarir Amrun

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province