”Harus Membeli Kipas Angin yang Lebih Kencang”
Dita (17) dan Rena (13), dua anak Indonesia yang memenangkan kompetisi penulisan dampak perubahan iklim terhadap anak-anak dan hadir di tengah-tengah Konvensi Perubahan Iklim se-dunia (UNFCCC) COP 15 di Kopenhagen, Denmark, diliput rasa khawatir. Akan bagaimana nasib anak-anak 10-15 tahun ke depan karena dampak perubahan iklim?
Sembilan tahun yang lalu, saat pertama kali pindah ke Pulau Bangka, Dita merasakan cuaca sangat panas di pulau yang dikelilingi lautan itu. Sebuah kipas angin diberikan orang tuanya kepada dirinya untuk mengusir rasa gerah di ruang belajarnya. Saat itu, kenangnya, dia cukup memutar pada angka dua dan merasa nyaman.
Namun 3-4 tahun belakangan, gadis berambut pendek ini merasa gerah dengan kecepatan angin di angka dua. Dia harus memutar kipas anginnya ke angka yang lebih kencang dan dia baru merasa nyaman di angka empat. Padahal sembilan tahun yang lalu, dia tidak cukup kuat terterpa angin sekencang itu.
“Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi pada empat tahun kemudian. Saya pikir, saya harus membeli kipas angin yang lebih kencang anginnya,” ucap Dita, siswa SMAN 1 Sungailiat, Bangka Belitung dalam kisah tulisannya yang mengantarnya ke pertemuan negosiasi iklim sedunia, pada pertengahan Desember lalu.
Dita menuturkan, suhu telah meningkat. Biasanya hanya 37-38 derajat celcius. Namun kini suhu di tempat tinggalnya telah mencapai 40 derajat celcius. Melihat itu, dia mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan terjadi dan dampaknya akan sangat dirasakan anak-anak seperti dirinya.
Cerita salah satu juara dari Lomba Penulisan Dampak Perubahan Iklim bagi Anak-anak yang dilaksanakan Plan Internasional Indonesia bersama Jakarta Post ini, mungkin hanya merasakan bagian kecil dari dampak langsung perubahan iklim.
Reina, pemenang lainnya dari lomba penulisan itu, mengungkapkan banyak dampak lain dari perubahan iklim yang kini dirasakannya oleh anak-anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara miskin dan tinggal di tepi perairan pantai atau sungai. Kebanyakan mereka saat ini sering tidak masuk sekolah karena sekolah mereka kebanjiran ataupun rusak.
Selain itu, menurut Reina, anak-anak kini juga rentan terkena berbagai penyakit. Baik karena makin seringnya kebakaran hutan dan lahan, seringnya banjir, maupun gagal panen yang menyebabkan anak-anak kekurangan pasokan gizi yang cukup.
“Perubahan iklim adalah tantangan lingkungan terbesar yang dihadapi negara kita maupun dunia. Jika kita tidak beraksi untuk melawannya sekarang, maka perubahan iklim akan secara permanen menyengsarakan umat manusia. Jika tidak memulainya sekarang, ucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang indah ini, dan katakan selamat datang pada kehidupan yang mensensarakan,” ucap Rena, siswa Sinarmas World Academy tingkat sembilan (setara dengan SMP kelas tiga, red).
“Sebelum terlambat dan untuk meraih masa dapan yang lebih baik untuk kita semua, mari bersama-sama melawan perubahan iklim. Jika bukan sekarang, terus kapan? Jika bukan kita, siapa lagi,” ungkap pembicara Side Event Clindren in Changing Climate (CCC) yang dilaksanakan Plan International, UNICEF, IDS dan Save The Children, di Bella Center, tempat konvensi perubahan iklim berlangsung.
Membawa Anak-anak dalam Negosiasi
Mengapa harus membawa anak-anak dalam konvensi perubahan iklim?
”Kita bicara masa depan dan itu berarti bicara tentang anak-anak. Merekalah nantinya yang akan merasakan dampak dari perubahan iklim ini dan tidak adil rasanya kita membicarakan nasib mereka tanpa melibatkan mereka. Kita juga memerlukan partisipasi mereka,” ungkap Vanda Lengkong, DRR Program Manager Plan Indonesia (Plan Internasional Indonesia) yang membawa terbang kedua anak Indonesia tersebut.
Menurut Vanda, karena alasan itulah, Plan Internasional sejak tahun 2007 lalu (COP 13 di Bali, Indonesia) membawa serta anak-anak hadir dalam perundingan iklim tersebut. “Anak-anak terkadang melihat apa yang tidak dilihat orang dewasa. Mereka juga terkadang mengatakan apa yang tidak terucapkan oleh orang dewasa dan yang terpenting itu adalah perundingan masa depan mereka,” tutur Vanda.
Khusus untuk COP 15 ini, Plan Internasional menghadirkan sebelas anak dari Indonesia, Kenya, Swedia, Inggris, dan Belanda di tengah-tengah negosiasi tersebut dengan status wartawan muda.
Khusus untuk anak-anak dari Indonesia, mereka dibekali pengetahuan jurnalistik dari Jakarta Post. Dengan status wartawan itulah, akses mereka menjadi bebas di ruang konvensi. Mereka bisa mewawancarai para delegasi, sekaligus menyampaikan aspirasi mereka kepada para delegasi.
Amanda Katili dari Dewan Nasional Perubahan Iklim, mendukung penuh kehadiran anak-anak dalam negosiasi perubahan iklim tersebut. “Akan sangat berbeda, jika yang berbicara anak-anak dalam konvensi ini. Namun, jumlah mereka harus lebih banyak. Setidaknya sepuluh persen agar suara mereka bisa terdengar,” papar Amanda.
“Saya tahu, membawa anak-anak ke konvensi ini tidak mudah. Bukan saja soal keimigrasian, tetapi juga soal sulitnya anak-anak berada jauh dari orangtua. Oleh karena itu saya memuji upaya Plan Internasional yang telah berhasil membawa anak-anak itu kemari,” tambahnya.
Ke depan, selain berharap lebih banyak lagi anak-anak yang hadir dalam konvensi itu, dia juga berharap akan lebih banyak anak daerah yang bisa datang. “Jangan, anak Jakarta melulu. Dan jangan itu-itu saja orangnya. Supaya jumlah mereka banyak dan menyebar. Jika jumlah mereka banyak, maka sosialisasi untuk persoalan perubahan iklim ini akan lebih luas,” ulasnya.
Amanda menuturkan bahwa pengetahuan anak-anak sangat penting. Setidaknya dengan pengetahuan tentang perubahan iklim anak-anak bisa sedini mungkin belajar beradaptasi dengan perubahan iklim. Selain itu, mereka bisa berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim. “Namun saya ingatkan, mereka dapat berpartisipasi tapi jangan lantas itu dijadikan beban atau tanggung jawab mereka,” imbuh Amanda.
Berakhir tanpa kesepakatan legal Konvensi Perubahan Iklim telah berakhir di tanggal 19 Desember lalu. Sekitar 45 ribu orang, telah terbang ke negeri Eropa bagian utara tersebut. Sekitar 3.500 wartawan dari seluruh penjuru dunia telah meliput dua minggu negosiasi yang berjalan maraton. 119 kepala negara telah pula turut datang untuk menunjukkan komitmen dan rasa peduli mereka. Sayangnya, negosiasi itu berakhir dengan bubar jalan. Tak ada legal binding (kesepakatan legal), hasil yang diharapkan jauh sebelum negosiasi itu dimulai.
Nasib Rena, Dita, dan anak-anak lainnya di seluruh dunia kita menggantung. Dampak perubahan iklim akan kian nyata menyapa mereka.***
------------------
Tulisan Andi Novirianti
Terbit di Riau Pos
0 komentar:
Posting Komentar