Tanpa tata pemerintahan yang baik, tanpa pelibatan aktif masyarakat miskin perkotaan dalam pengambilan keputusan yang terkait nasib mereka, dan tanpa penanggulangan korupsi, perencanaan perkotaan di segenap pelosok Tanah Air tidak akan banyak manfaatnya.
Vandalisme perencanaan
Beberapa tahun silam, seorang unsur pimpinan Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia mengemukakan, lebih dari 80 persen rencana kota di Indonesia tidak terlaksana seperti yang telah ditetapkan. Majalah The Economist (September 2009) mengangkat soal vandalisme ekonomi, mengakibatkan resesi. Maka untuk disiplin ilmu dan profesi perencanaan kota, sebenarnya banyak terjadi vandalisme perencanaan perkotaan karena banyak penyimpangan dan pelanggaran tata ruang perkotaan, tanpa sanksi bagi pelanggarnya.
Kini kita merasakan akibatnya. Banyak taman kota, tempat bermain, dan lapangan olahraga yang menghilang, disulap jadi bangunan komersial. Banyak bangunan kuno bersejarah diganti bangunan modern dan post-modern yang tak berjiwa. Kawasan kumuh dan liar pun merebak tanpa kendali. Penduduk miskin perkotaan kian dipinggirkan.
Selain itu, macetnya lalu lintas karena rencana pembangunan transportasi massal terkendala berbagai faktor, termasuk lobi kuat para produsen mobil. Pertumbuhan kota yang kian melebar, melahap tanah-tanah subur di sekitarnya, menyulitkan penyediaan infrastrukturnya.
Contoh jelek
Contoh paling jelek dipertontonkan kota Jakarta, satu-satunya megalopolis ibu kota negara. Coba tengok, makam di tengah kota berubah menjadi apartemen mewah menjulang tinggi. Biasanya pemandangan yang didambakan adalah laut, gunung, taman, dan kolam. Namun, di apartemen itu tampaknya kuburan menjadi pemandangan utama.
Lebih mengherankan lagi, makam menjadi kantor pemerintah. Di desa-desa, kuburan di pinggir dusun sungguh dihormati, bahkan amat sangat disegani. Oleh masyarakat setempat, makam desa disebut setana (istana). Mana ada orang desa berani mengubah fungsi setana menjadi perumahan atau perkantoran. Jangan lupa, kuburan termasuk kategori ruang terbuka hijau yang wajib dilestarikan.
UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan, di perkotaan wajib tersedia 30 persen ruang terbuka hijau, terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen ruang terbuka hijau privat.
Berapa total luas ruang terbuka hijau Jakarta? Kabarnya tinggal 9,8 persen, amat jauh dari ketentuan UU.
Bagaimana Jakarta menanggulangi banjir tiap musim hujan jika ruang terbuka hijau begitu minim? Belum lagi fenomena perubahan iklim yang berdampak naiknya permukaan air laut.
Contoh jelek lain yang amat merisaukan adalah sistem transportasi umum. Tahun 1970-an, Bangkok dikenal sebagai kota paling macet. Predikat itu rupanya sudah pindah ke Jakarta.
Semua orang tahu, alternatif terbaik untuk mengatasi kemacetan lalu lintas kota Jakarta adalah mass rapid transit di bawah atau di atas tanah, bukan mengambil lahan seperti model trans Jakarta.
Tidak kalah mengerikan, dosa kembar: kegilaan membangun segala hal yang gigantik di pusat kota yang sudah sumpek dan pemekaran kota tanpa kendali ”mencaplok” daerah belakang menjadi kawasan konurbasi.
Rencana penyelamatan
Ada dua aspek besar untuk menyelamatkan kota.
Pertama, aspek perencanaan prosedural, menyangkut tata pemerintahan yang baik, proses pengambilan keputusan yang demokratis, dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.
Kedua, aspek perencanaan substansial yang lebih realistis, pragmatis, tetapi juga visioner, berwawasan jangka panjang.
Untuk itu, kita perlu: pertama, mencegah kecenderungan bunuh diri ekologis perkotaan, dengan menjaga eksistensi ruang terbuka hijau yang tersisa, menambah ruang terbuka hijau yang baru, dan menerapkan prinsip kota hijau.
Kedua, meneguhkan tekad membangun sistem transportasi publik terpadu, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, yang akan amat menghemat energi dan bisa menangkal dampak negatif emisi karbon dan gas rumah kaca.
Ketiga, mengupayakan keseimbangan dinamis antara kota dan desa, menggalakkan pembangunan kota-kota baru mandiri, menciptakan kota-kota yang kompak berskala manusia.
Keempat, mengurangi kesenjangan ekonomi antarwarga kota yang berpotensi memicu kecemburuan sosial, melalui perencanaan komunitas yang mampu menggairahkan solidaritas sosial, mencegah gejala eksklusivisme.
Kelima, menggalakkan aneka program yang memberi peluang untuk distribusi sumber daya alam, manusia (kependudukan), modal/finansial, kelembagaan (institusional), dan teknologi secara merata dan berimbang.
Aneka program transmigrasi dengan prinsip daerah membangun (bukan pembangunan daerah) dan yang belakangan ramai dibicarakan: perpindahan penduduk karena dampak perubahan iklim (climigration) kiranya layak dijadikan salah satu landasan pemikiran guna penyelamatan kota-kota kita pada masa depan.
Penulis: Eko Budihardjo - Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari; Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro
Sumber: Kompas
0 komentar:
Posting Komentar