Sabtu, 23 Januari 2010

Pasca Penutupan Panglong Arang

Balak Habis, Teki tak Boleh Ditebang

Bagi masyarakat pesisir, salah satunya Kabupaten Bengkalis, smokil merupakan pekerjaan biasa. Namun hukum di negeri bernama Indonesia ini, pekerjaan itu diharamkan dengan sebutan penyelundupan. Padahal, bagi masyarakat pesisir aktivitas smokil sudah berlangsung sejak lama seperti membawa kayu log, teki, kopra atau barang-barang lainnya ke negeri jiran, Malaysia dan Singapura.

RAUNG sepeda motor memecah keheningan pagi itu. Dua pemuda asal Kampung Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Rahim (33) dan Efet (33) tampak bergegas agar tiba tepat waktu di tempatnya bekerja. Kedua pemuda itu menuju salah satu Panglung Arang (tempat pembakaran kayu bakau menjadi arang) di tepi Sungai Kembung milik tauke A Poi. Panglong itu merupakan panglong terdekat bagi kedua pemuda itu untuk mengais rezeki. Kebetulan di subuh yang sejuk menusuk tulang usai salat subuh Riau Pos ikut serta dengan mereka dengan menggunakan sepeda motor lain.

Untuk sampai ke lokasi panglong arang, tidaklah sesulit dulu sebab sejak beberapa tahun terakhir jalannya sudah dicor beton dan ditimpa pula dengan aspal. Hanya saja, suasana di sekitarnya tidak banyak yang berubah dan masih seperti dulu, dulunya lagi. Selang beberapa waktu, Riau Pos bersama dua pemuda itu tiba ke panglung yang dituju. Mendadak saja Riau Pos menggisal-gisalkan hidung karena asap pembakaran menebar bau yang sangat menyengat. Bau menyengat itu berasal dari tempat pembakaran berbentuk kubah besar berukuran 25 x 25 meter. Di depannya, terdapat pintu setinggi 15 meter dan terlihat pula cerobong berukuran 20 sentimeter tempat di mana asap hitam mengepul-ngepulkan asap sisa pembakaran.

Sekali lagi, tak ada yang berubah sejak 1996-2010, terutama soal tempat itu. Satu-satunya yang berubah adalah tidak ada lagi tumpukan kayu bakau, yang dulunya menggunung, kini tak terlihat lagi. Kini, yang ada hanya ada sedikit tumpukan kayu Nyirih dan Sesup (sejenis kayu mangrove) di sisi kiri dan kanan panglong tersebut. Jika dulu, tumpukan kayu bakau di tempat itu bisa mencapai ribuan batang tapi sekarang semuanya tinggal kenangan belaka.

Beberapa saat memperhatikan kondisi tempat yang bisa dikatakan akrab dengan Riau Pos yang datang untuk kesekian kalinya ke sana, terdengar suara Efet bejaung (berteriak memanggil) Riau Pos agar segera turun untuk naik ke tuakow (perahu). Mendengar panggilan Efet, Riau Pos bergegas turun dari lokasi panglung dan menaikinya dan duduk di haluan perahu. Setelah membantu membuka tali perahu yang terikat dipancang di pinggir pelabuhan kecil milik A Poi perjalanan pun dimulai.

Tampak Rahim menggunakan dua tangannya mulai memasang dayung pada tol (tempat meletak tali dayung atau simpai dayung). Untuk dayung sampan masyarakat pesisir, berbeda dengan dayung yang digunakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan sungai seperti Kampar, Kuantan Singingi dan sebagainya. Jika nelayan sungai menggunakan dayung satu di depan dan satu belakang maka di pesisir, posisi dayung di tengah-tengah dan hanya di dayung satu orang, meski dayung yang digunakan dua. Tujuan selanjutnya adalah ke salah satu anak Sungai Kembung untuk melihat lokasi panglung lainnya, sebab di kampung Teluk Pambang masih ada empat panglung yang berdiri kokoh seperti dahulu.


Panglung Arang Sekali Ulas

Sejak 1980-an, sedikitnya terdapat lima panglung dan dimiliki lima orang tauke seperti An Hok, Selamat, Ong Kok, A Poi dan Cun Cuan. Kelima panglong milik tauke Teluk Pambang dulunya, bisa menghasilkan puluhan ton arang baku per bulannya. Arang yang dihasilkan itu sebagian dibawa ke pusat Kota Bengkalis dan sebagian besar di bawa berhanyut-hanyut ke negeri seberang seperti Malaysia atau Singapura.

”Kerje macam ni bang, dah belasan tahun kami lakukan. Jika tak ada kegiatan berkebun atau kerja di darat, kami nebang bakau lah,” ungkap Efet kepada Riau Pos sembari mendayung perahu menuju anak Sungai Kembung yakni Sungai Kolding yang berjarak satu kilometer dari panglung milik A Poi.

Rahim menambahkan, sejak belasan tahun bahkan puluh tahun, hutan bakau di Sungai Kembung dan anak sungai di dalamnya adalah ladang rezeki bagi masyarakat untuk memenuhi keperluan ekonomi sehari-hari. Bahkan pemilik panglong menyediakan perahu bagi para pekerja. Pekerjaan menebang kayu bakau ini, bukan saja dilakukan masyarakat Pambang dari suku Melayu, juga Jawa. Akan tetapi orang suku asli di Teluk Pambang juga melakukan pekerjaan serupa.

Setibanya di Sungai Kolding, terlihat tak kurang dari sepuluh perahu yang bertambat di pinggir pelabuhan kayu sederhana milik tauke panglong arang. Efet, Rahim dan Riau Pos hanya melihat-lihat palung arang di tepi sungai.

Efet yang tengah santai mendayung tuakow menuturkan, saat ini panglong arang sudah banyak yang tutup. Kalaupun ada hanya untuk membakar seadannya. Ini dilakukan agar tempat pembakaran arang kayu bakau tidak rubuh. Minimal, pembakaran yang dilakukan saat ini hanya untuk mempertahankan kekokohan tempat itu. “Kerja menebang kayu bakau tak lagi menjanjikan dan banyak pula yang beralih profesi lain. Selain kayu berharga itu sudah mulai punah, juga dikarenakan pemerintah menjadikannya sebagai hutan lindung,” kata Rahim tanpa memalingkan wajahnya.

Alasan hutan bakau dilindungi pemerintah dan dilarang menebangnya membuat salah satu penyebab tauke panglong gulung tikar. Hanya satu dua panglong yang tetap beroperasi. Namun yang dibakar tidak lagi kau bakar melainkan Nyirih sekedar untuk memanaskan kubah pembakaran agar tidak rubuh karena dimakan usia. “Panglong Arang milik Ong Kok sudah tutup, bahkan rumahnya pun mau dijual karena Ong Kok dah meninggal. Begitu juga milik An Hok, Selamat dan Cun Cuan serta A Poi,” tambah Rahim.

Efet menimpali, bekerja sebagai penebang kayu bakar bukanlah pilihan, kata Efet. Namun karena tak ada pilihan lain, sedang menghidupi ketiga anak dan istrinya adalah sebuah keharusan maka Efet, Rahim dan juga pekerja panglong lainnya terpaksa melakoni kerja serabutan. Jika pagi menebang kayu, sorenya menjual es keliling. Pekerjaan itu dilakoninya sebab akan malu jadi penganggur. Sekarang ini, kata Efet yang diamini Rahim, sebatang Bakau berukuran 2,5 inci dan panjang 2 meter diharga Rp12 ribu. Sedangkan untuk kayu Nyirih di hitung per tuakow. Jadi kalau penuh tuakow dijual seharga Rp40 ribu. “Kalau berdua kerjanya bisalah dapat upah Rp20 ribu seorang,” jelas kedua pemuda itu.

Untuk Bakau, di jual ke Malaysia. Di negeri seberang ini harganya jualnya cukup mahal, bisa mencapai Rp25.000-Rp30.000 per batangnya. Tapi sekarang sulit untuk cari Kayu Bakau ukuran 3-4 inci. Karena kayu sebesar itu laku keras di negeri seberang.


Dan Panglong pun Mati Suri

Penerus pengelola panglung arang A Poi yang sudah lama meninggal dunia, yaitu ketiga anaknya A Ching, A Guan dan A Siong. Untuk mendapatkan kayu saat sekarang sangat sulit. Kalau sekarang pekerja paling tinggi dua atau tiga tuakow saja dengan jumlah kayu diperbanyak yaitu Nyirih. Sedangkan kayu Bakau hanya sedikit saja. “Nyirih untuk bahan bakar agar panglong kami tak rubuh,” jelasnya.

Selain itu minat masyarakat untuk bekerja sebagai penebang kayu bakau sudah berkurang. Hal ini disebabkan banyak masyarakat memilih menoreh (menyadap pohon karet, red). Sebab karet saat sekarang mahal, dan banyak juga yang berkebun kelapa.

Hal serupa juga dikatakan Ketua RW 05 Dusun Parit I, Muhammad Nor yang akrab dipanggil Haji Nor. Menurutnya, dulu sebagian masyarakat di kampungnya menebang kayu Bakau. Selain untuk dijadikan Teki untuk dibawa ke Malasysia dan Singapura juga untuk panglung Arang milik tauke yang ada Sungai Kembung. Tapi saat sekarang tinggal sebagian kecil saja.

Sebab masyarakat memilih menoreh atau memlihara kebun kelapa mereka. Sebab harganya lebih menjanjikan. ‘’Bahkan ada warga memanfaatkan tanah mereka menanam pinang, sebab harga pinang lumayan tinggi jika dibawa ke Malaysia,’’ jelasnya.

Tokoh masyarakat Dusun Parit 1, Saripan (50), menebang Kayu Bakau merupakan pekerjaannya dulu. Tapi saat sekarang memilih menoreh pohon karet. '’Sekarang bapak milih menoreh. Selain kerje tak berat, harge ojol (karet, red) mahal,’’ ucapnya.

Hal serupa dikatakan Muhammad Ali merupakan Ketua Pemuda di dusun tersebut. Sekarang pekerjaannya sudah beralih. Dulu, kata Ali sapaannya, nebang kayu Bakau jadi pekerjaan rutin. Selain kayu Bakau banyak, pemilik panglung arang banyak menerima kayu Bakau tersebut. ‘’Sekarang hanya untuk ngisi dapow (dapur, red) arang , agar tak rubuh. Sekarang panglung arang dah banyak tutup,’’ ceritanya.

Pekerjaan rutinnya itu hilang, dirinya lebih memilih bekerja sebagai nelayan. Bahkan dirinya melaut menggunakan pukat panjang 70 meter dengan temannya untuk menangkap ikan atau udang. ‘’Ikan dan udang sekarang mahal. Jadi cukuplah untuk makan dan biaya sekolah anak dari hasil melaut kite itu,’’ jelasnya.


Manakala Balak Jaya

Pekerjaan paling menyenangkan bagi masyarakat Teluk Pambang, sejak 1997-2004 adalah melakukan pengisian kayu balak (kayu log) atau balak tim ke dalam Pompong. Para tauke yang membawa kayu ke Malaysia, terutama tujuan Batu Pahat, Muar dan Malaka. Pada zaman itu, kejayaan perekonomian masyarakat benar-benar menggeliat. Bahkan keluar masuk barang impor, berupa gula, bawang putih, tepung terigu dan produk lainnya di Teluk Pambang. Dengan barang-barang impor masuk secara gelap tersebut membuat perekonomian masyarakat di Desa Teluk Pambang di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis menjadi berkembang.

Diakui masyarakat setempat, sebelum terbuka isolasi antara daratan Pulau Sumatera dan Pulau Bengkalis masyarakat Teluk Pambang tak mengenal produk Indonesia. ‘’Dulu kita tak tahu produk Indonesia. Sebab barang impor dari Malaysia masuk ke sini. Sekarang sudah banyak produk Indonesia masuk,’’ kata Joni mantan ABK salah satu kapal pompong yang membawa kayu balak, ke Muar atau Batu Pahat.

Dulu, kata Joni lagi walaupun tak berangkat ke Batu Pahat dan hanya melakukan muat kayu balak ke pompong sudah lumayan duitnye. ‘’Sekali muat sehari kita bisa megang uang Rp100-200 ribu,’’ kata Joni.

Sekarang, itu semua sudah berlalu. Sebab saat sekarang balak dah tak ada. Kalau pun ada hanya kayu Teki. Itupun jarang-jarang orang berangkat ke seberang. Karena harga kayu bakau atau Teki tak lagi menjanjikan. Selain itu cuaca buruk membuat masyarakat takut menyeberang.

Hal serupa dikatakan, Agam nakhoda salah satu kapal yang sering berangkat ke seberang. Menurutnya, ia berangkat ke Malaysia jarang-jarang. ‘’Kayu Balak dan Bakau payah sekarang. Jadi jarang berangkat lagi,’’ jelasnya.

Burhan (30), yang sudah tak asing lagi dan mahir untuk membawa pompong dengan berisi kayu balak ke seberang juga mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, pekerjaan membawa Balak ke seberang dulu sangat menggiurkan. ‘’Kita pergi pagi petang dah sampai ke Malaysia. Besok kite dah sampai ke Pambang lagi. Gaji lumayan 180-250 Ringgit sekali berangkat,’’ jelasnya.

’’Tapi itu tinggal kenangan. Sekarang dah tak ade kayu balak,’’ lanjut Burhan yang sekarang dirinya kerja serabutan di darat dan tak melaut lagi.

Bakau pun ada, kata Burhan, itu pun tanaman milik masyarakat yang diprogram oleh pemerintah. Jadi kalau ditebangpun untuk keperluan masyarakat saja. Seperti untuk cerocok pondasi rumah di Kampung Pambang ini. ‘’Jadi Kayu Bakau betul-betul dilestarikan masyarakat,’’ jelasnya.


Kopra dan Pinang Penyelamat

Untuk meneruskan hidup dari usaha belayar atau membawa barang dagangan dari dalam negeri ke luar negeri tetap terbuka. Dan upaya untuk mendatangkan produk makanan dan minuman dari Malaysia tetap terbuka lebar. Pasalnya isi kelapa yang dikeringkan (kopra) masih bisa dibawa ke negeri jiran tersebut.

Bukan kopra dan kelapa bulat saja, akan tetapi biji pinang kering dan tikar hasil kerajinan tangan para ibu-ibu juga berharga di negeri jiran tersebut. ‘’Untung masih ada barang nak dibawa ke seberang. Kalau kopra dengan pinang tak laku mungkin kite payah sekarang,’’ kata H Yusuf pengelola lintas batas di daerah itu.

Dengan adanya kopra untuk dibawa ke Malaysia dirinya bisa mempekerjakan beberapa karyawan lepas. Bahkan gaji yang diberikan tak terlalu besar hanya 100 ringgit per trip atau tiap kali berangkat. ‘’Kalaupun berangkat lintas batas (pelayaran dibenarkan) membawa kelapa bulat atau kopra, itupun sebulan sekali,’’ ucapnya.

Lakunya kelapa salai (kopra) di Malaysia membuat warga kembali ke kebun kelapa. Jadi kebun kelapa yang dulu ditinggalkan sekarang kembali dipelihara masyarakat. Selain itu juga memelihara kebun pinang. Selain itu juga fokus untuk memelihara kebun karet.

Semoga Teluk Pambang terus berkembang. Meskipun Balak, Teki tak menjanjikan. Berharap masyarakat tak terus bergantung pekerjaan yang di larang negara. Semoga pemerintah mempunyai program kerakyatan, sehingga masyarakat tak dibiarkan terus miskin.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province