Kamis, 21 Januari 2010

Melihat Kondisi Banjir di Pelalawan

Si Sakit pun Terkulai Lemah di Rumah

‘’Aduh.... aduh... aduh,’’ terdengar erangan suara lelaki yang berasal dari balik rumah kayu yang berukuran 5x5 meter. Di atas tempat yang letaknya agak tinggi, tepatnya di samping dapur tergolek lemah seorang lelaki paruh baya.

Meringkuk dengan tangan kanan diapit kedua kakinya, sedangkan tangan kirinya memegang kepala. Wajahnya pucat pasi, sedangkan bibirnya bergetar. Ia tidak mengenakan baju, hanya sarung yang dijadikan penutup tubuhnya. Dadanya menonjol, menunjukkan rangka tubuhnya yang hanya dilapisi kulit tipisnya yang berwarna kuning pucat.

‘’Ya Allah tolong, bidan ndak kesiko? Aduh... aduh... aduh... sakitnya,’’ rintih Samsul Bahri (48) warga Sering Dusun III Jembatan, Pangkalankerinci, Pelalawan kepada istrinya, Sadiyah (48). Yang dipanggil pun hanya bisa tersenyum dan membelai lemah kepala suaminya.

Terlihat jelas, matanya yang berkaca-kaca. Sedangkan anaknya Maryati (17) tengah sibuk membersihkan lantai kayu yang kotor akibat banjir. Sudah tiga tahun Samsul Bahri menderita diabetes, yang perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Tak kenal lelah, ia berobat baik ke rumah sakit dan pengobatan altenatif. Hingga setahun belakangan, semua harta yang ia miliki habis untuk berobat.

Ditemui Riau Pos, Samsul Bahri tergolek lemah di atas dipan kayu yang oleh penduduk sekitar dinamakan pentas. Pentas merupakan semacam tempat pengungsian yang terdapat di dalam rumah, letaknya sekitar satu meter setengah di atas lantai rumah.

‘’Duit tak ada, untuk bawa bapak ke rumah sakit. Apalagi sekarang banjir, tak punya sampan untuk ke mana-mana,’’ujar Sadyah lirih. Ia mengaku tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk suaminya. Tak ada dokter yang datang, alat transportasi pun tak ada. Jikapun ada yang mau meminjamkan sampan, uang untuk berobat pun tak ada. ‘’Mencari pinjaman kemana, semuanya juga sedang sulit,’’ tambahnya.

Dari pantauan Riau Pos, rumah Sadyah tergenang oleh banjir akibat meluapnya Sungai Kampar. Setiap tahun, banjir selalu menghampiri rumahnya yang terletak di perumahan yang merupakan bantuan Dinas Sosial bagi korban kebakaran di bawah jembatan Pangkalankerinci. Di desa tersebut terdapat 32 kepala keluarga (KK) yang menempati daerah yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari jalan Lintas Timur.

Saat Riau Pos menemuinya, banjir hanya berjarak sekitar 15 Cm dari lantai rumah panggungnya. ‘’Jangankan dokter dan bidan, bantuan saja tak ada yang datang. Apalagi kami tak mempunyai sampan. Tidak bisa ke mana-mana, untuk makan saja berharap dari para tetangga,’’ ucapnya.

Sadyah menceritakan sejak suaminya yang dulunya bekerja sebagai nelayan sakit, otomatis tanggung jawab keluarga dibebankan padanya. Untuk membiayai keperluan sehari-hari dan menyekolahkan anak, ia berkebun menanam sayur mayur. Malangnya, banjir yang terjadi sejak dua bulan lalu menenggelamkan kebunnya. Alhasil, ia tak mempunyai uang untuk makan sehari-hari dan biaya keperluan berobat suaminya.

‘’Kemarin ada bantuan dari orang yang baik hati, setiap warga dapat 16 bungkus mie instan. Itulah yang kami makan sekarang. Mudah-mudahan mie instan habis, banjir pun habis,’’ harapnya.

Sadyah mengharapkan perhatian dari pemerintah daerah (Pemda) untuk membawa suaminya yang sedang sakit ke rumah sakit. Di sana, menurutnya, lebih bersih dan terhindar dari gatal-gatal yang mulai menjangkiti warga setempat.


Ritual Tahunan

Sebagian masyarakat didaerah tersebut sudah pergi mengungsi. Namun sebagian lagi, tetap bertahan di desanya dengan alasan khawatir dengan keamanan rumahnya. Masyarakat menggunakan pentas sebagai tempat pengungsian.

Seperti saat Riau Pos berkunjung ke rumah Lani (38), yang juga warga Sering. Tiga anaknya nampak asyik bermain catur di atas pentas. Sementara di sudut pentas, bertumpuk kasur yang digulung rapi dan televisi yang tak digunakan. Kasur tersebut biasanya berada di dua kamar yang ada di rumahnya. ‘’Beginilah kondisi kami saat banjir,’’ ucapnya.

Diakuinya, banjir tak hanya membuat kesulitan dalam memperoleh makanan. Tetapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi. Ia yang biasanya berprofesi sebagai nelayan, terpaksa banting stir menjadi buruh angkut dikarenakan ikan yang ada hanya ikan-ikan kecil.

‘’Itu juga tak tentu, kalau dulu dapat sekitar Rp100 ribu perhari. Sekarang paling besar Rp45 ribu, tapi kadang tak setiap hari dapat. Dulu, juga masih ada ternak ayam, tapi sekarang habis oleh banjir,’’ jelasnya.

Tak hanya ternak saja, kebunnya yang ditanami pohon karet terendam oleh banjir. Ia mengaku pasrah menghadapi hari tuanya nanti. Banjir di daerah tersebut, lanjutnya, sudah menjadi semacam ritual tahunan. Kalau dulu, ia dapat memprediksi kapan terjadinya banjir. Namun sejak tiga tahun belakangan ini, banjir semakin tak bisa diprediksi terjadi bulan apa.

Saat banjir datang, tambahnya, tak hanya merugikan secara ekonomi. Tapi ia turut cemas dengan keselamatan anak-anaknya, apalagi anak-anaknya masih ditinggalkan di rumah. ‘’Apalagi kalau malam, sudahlah listrik tak ada. Banyak pula binatang seperti lipan atau kalajengking yang masuk,’’ ucapnya.

Listrik memang belum masuk di daerah tersebut. Untuk penerangan masyarakat sekitar menggunakan mesin genset untuk memperoleh listrik yang hanya hidup mulai pukul 18.00 WIB hingga 21.00 WIB. Alasannya, jika hidup hingga pagi ia akan menghabiskan biaya sekitar Rp18.000, untuk tiga liter bensin. ‘’Minyaknya mahal, apalagi kondisi saat ini susah,’’ ucapnya.

Jika banjir telah usai, lanjutnya, masyarakat pun harus bersabar. Selain membersihkan rumahnya yang kotor, banyak alat elektronik yang rusak. Begitu juga jalan-jalan becek yang harus ditempuh hingga kering selama tiga bulan. Mereka juga memulai dari nol lagi semua usahanya.

‘’Mau bagaimana lagi, tahun lalu bahkan lebih tinggi lagi. Tingginya sekitar sekilan (sejengkal-red) setengah dari lantai rumah,’’ lanjutnya.

Ia mengharapkan adanya perhatian pemerintah terhadap korban banjir dan mengatasi persoalan banjir yang terjadi. Entah itu, merelokasi ke tempat yang jauh dari banjir ataupun memberikan bantuan pada korban banjir.

Ali (35), salah seorang tokoh masyarakat yang juga anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Sering, mengatakan setidaknya setiap tahunnya masyarakat merugi hingga puluhan juta. ‘’Mungkin sekitar Rp20 hingga Rp30 juta setiap tahunnya. Jika dihitung semua kerugian mulai dari ternak hingga perkebunan,’’ ucapnya singkat.

Sementara itu, Bupati Pelalawan, Rustam Effendi yang ditemui Riau Pos mengatakan persoalan banjir merupakan persoalan kompleks yang sulit dihadapi. ‘’Kita sudah memberikan bantuan kepada masyarakat di Kecamatan Langgam. Langgam lebih terisolir dari yang lain, setelah Langgam berikutnya bantuan akan diberikan ke daerah lain,’’ jelasnya.

Bantuan menurutnya, memang difokuskan untuk daerah yang lokasinya sangat terisolir. Dikatakannya, saat ini banjir melanda beberapa kecamatan yakni Langgam, Pelalawan dan Pangkalankerinci.


Sukacita

Banjir tak selamanya identik dengan perasaan sedih yang mendalam. Bagi anak-anak Desa Sering, Banjir disambut dengan sukacita. Banjir bagi mereka, berarti harus mengeluarkan lagi peralatan pancing yang sudah lama tersimpan di rumah. Selain itu, banjir dijadikan arena untuk menguji ketangkasan dalam berenang. Seperti yang diungkapkan Putra (12), murid SDN 011 Sering Barat yang sedang memancing bersama teman-temannya, tepat di depan sekolah yang terendam banjir.

‘’Banjir banyak ikan, jadi kami semua mancing di sini,’’ucapnya sembari memperlihatkan ikan gabus sebesar telunjuk hasil tangkapannya.

Ia sengaja mengisi liburan sekolahnya dengan memancing. Menurutnya, sekolah baru dimulai pada Senin depan. ‘’Kalau banjir tetap sekolah, tapi memakai lokal yang tidak terkena banjir,’’ ucapnya.

Tak hanya itu saja, masyarakat Desa Sering tepatnya yang berada di bawah jembatan, melakukan mandi bersama seperti halnya tradisi Petang Megang menyambut masuknya bulan Ramadan. Dan juga di jalan lintas timur, banyak masyarakat yang memanfaatkan banjir untuk mencuci kendaraannya. Bahkan tak jarang, ada masyarakat yang menjual ikan sepat kecil di jalan tersebut.

‘’Kalau banjir begini banyak ikan kecil-kecil. Hasil tangkapan kadang dijual, kadang juga disalai terlebih dahulu,’’ ucap Hasni (29), salah seorang penjual.

Menurutnya, kebanyakan yang membeli merupakan masyarakat yang melewati Jalan Lintas Timur tersebut. Dari hasil penjualan ikan tersebut bisa menghidupkan asap dapur di rumahnya.

Oleh: Indriani Eriza
Sudah terbit di Riau Pos

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province