Minggu, 07 Februari 2010

REDD Plus Plus?

Mengenal Gambut, dari Semenanjung Kampar ke Kopenhagen (3)

Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) menjadi pembicaraan paling hangat di seluruh kawasan negara berkembang yang memiliki hutan. Bahkan kini berkembang pula skema REDD plus. Lalu bisakah gambut secara khusus masuk sebagai skema REDD plus plus?

Eric J Layman, wartawan senior asal Amerika yang tinggal di Italia dan menjadi tutor bagi para jurnalis Indonesia yang akan berangkat meliput konferensi perubahan iklim Sedunia (UNFCCC) COP15 di Kopenhagen, akhir November lalu, cukup kaget mendengar cerita tentang gambut. Suatu kawasan yang memiliki fungsi sangat penting dalam mengurangi emisi karbon, terutama karena menyerap karbon dan tidak melepaskan karbon yang ada di dalam lapisan tanahnya.

Apalagi saat Eric, mendengar ada kedalaman gambut hingga 20 meter di Riau. Menurutnya, sudah selayaknya upaya menjaga dan menyelamatkan gambut dari kerusakan menjadi prioritas penting masyarakat dunia. Sehingga salah satu ide tulisan yang dikembangkan adalah bagaimana mendorong agar gambut masuk dalam mekanisme REDD plus plus (++). Seiring dengan berkembangnya wacana tentang mekanisme REDD plus sejak COP14, di Poznan, Polandia, Desember 2008.

Namun dalam penelusuran Riau Pos untuk mendorong gambut masuk dalam mekanisme REDD plus-plus, tidaklah seperti bayangan awalnya. Awalnya, ada dugaan plus pada REDD plus, memiliki makna ada kompensasi lebih yang diberikan bagi penerima REDD. Selanjutnya REDD plus plus, memiliki makna mendapatkan tambahan berganda. Dengan asumsi, sama halnya seperti tarif hotel yang selalu mencantumkan ++, artinya ada tambahan biaya lain dari harga yang telah dicantumkan.

Pada kenyataannya REDD plus di situ, menurut Teguh Surya, dari Friend of The Earth (di Indonesia dikenal dengan Walhi, red), salah satu pembicara dalam side event yang dilaksanakan Panos London bersama Climate Change Media Patnership (CCMP) di Bella Center, Kopenhagen, tempat COP 15 berlangsung, menyatakan bahwa plus maknanya bukan membayar lebih. Tetapi memasukkan kawasan konservasi dalam mekanisme REDD.

Lebih lanjut, Teguh mengupas tentang sejarah REDD. Menurutnya ide tentang mekanisme REDD, dimulai pada tahun 2005, tepatnya COP 11 di Montreal. Di mana Papua Nugini bersama dengan Costa Rica dan didukung oleh delapan negara lainnya (Coalition of Rainforest Nations) mengajukan proposal mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dari negara-negara berkembang. Mengingat emisi dari deforestasi hutan tropis menjadi penyumbang terbesar kedua penyebab pemanasan global.

Kemudian, pembahasan skema REDD berkembang kencang saat COP13, di Bali, tahun 2007. REDD dalam konfrensi itu, secara sederhana diartikan sebagai pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara yang berkeinginan dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan digradasi. Namun, belum usai persoalan REDD, pada COP14 di Poznan, Polandia skema REDD diperluas. Skema ini tidak lagi berhubungan langsung dengan upaya pengurangan deforestasi dan degradasi lahan. Akan tetapi difungsikan untuk melakukan konservasi cadangan karbon di hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon hutan baik melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi.

Asumsinya, tambahnya, bila skema awal REDD hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara pemilik hutan dengan laju deforestasi tinggi. Namun dengan adanya skema REDD plus dengan lingkup yang lebih luas, maka negara-negara yang selama ini aktif melakukan konservasi hutan juga bisa mendapatkan skema REDD. Dengan demikian REDD plus-plus tidak memungkin. Apalagi Doddy S Sukadri, Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF) Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Desember lalu, menyatakan gambut tidak pernah dibahas dalam teks negosiasi.

“Kita pernah mengusulkan agar gambut dipisahkan dengan wetland (lahan basah). Namun tidak ada negara lain yang mendukung. Akhirnya yang ada hanya wetland. Meskipun memang gambut termasuk lahan basah. Namun fungsi gambut yang sangat penting dalam mengurangi emisi karbon, akhirnya tidak dibahas spesifik,” ujarnya.

Dalam pengamatan Riau Pos, persoalan gambut pada COP15 hanya dibahas pada kegiatan sampingan (side event). Selain itu, sejumlah orang yang Riau Pos tanyai tentang tahukah mereka tentang Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan sebagai salah satu hutan rawa gambut yang kini ramai dibicarakan di Indonesia, apalagi paska aksi Greenpeace menentang alih fungsi lahan di areal tersebut. Rata-rata menggeleng tidak tahu.

Meskipun gambut tidak dibicarakan di teks negosiasi dan tidak ada perhatian dunia terhadap nasib gambut, Jonotoro, praktisi gambut Riau, minggu ketiga Januari, menyatakan isu gambut dalam beberapa tahun ke depan akan semakin populer. Pasalnya inti dari upaya melawan perubahan iklim adalam mengurangi emisi. Jika emisi dari lahan gambut tidak dicegah, maka target untuk mengurangi emisi karbon tidak akan dicapai.

“Target Presiden SBY untuk menurunkan target emisi pada tahun 2020 sebesar 26 persen itu tidak akan tercapai, jika upaya penyelamatan gambut tidak dilaksanakan. Pasalnya 14 persen dari total target penurunan emisi itu itu berasal dari sektor kehutanan terutama dari hutan rawa gambut yang paling banyak melepaskan emisi bila rusak,” paparnya.

Ia juga menyerukan, meskipun gambut kini masih terkesan diabaikan, namun menurutnya prinsip kehati-hatian tetap harus dilaksanakan dalam pengelolaan gambut. Apalagi, menurutnya, gambut merupakan areal yang rapuh, dan jika sekali mengalami kerusakan hampir mustahil untuk kembali.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province