Senin, 10 Januari 2011

Perlu Beberapa Tahun untuk Hijaukan Riau

Bagi-bagi pohon gratis saat ini sama halnya dengan kisah bagi-bagi kondom gratis beberapa dasawarsa silam, saat awal-awal program KB (Keluarga Berencana) diperkenalkan. Meskipun gratis, banyak yang enggan memanfaatkannya.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com


TERDEGRADASI: Meskipun upaya menanam pohon giat dilakukan, namun aksi penebangan liar tetap juga marak. Terlihat Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang terdegradasi oleh aksi para pelaku penebangan liar.

Tahukah Anda, kalau untuk menghijaukan Riau itu butuh waktu unlimitted alias tanpa batas? Bagaimana perhitungannya? Saat ini, di Riau berdasarkan data Balai Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri-Rokan, yang banyak mengurusi soal reboisasi, penghijauan, dan penyediaan bibit dari pemerintah pusat, ada 819.276 Ha lahan kritis di Riau. Terdiri dari 423.822 Ha di dalam kawasan hutan (baik hutan konservasi, hutan lindung, taman raya maupun lainnya) dan 395.454 Ha di luar kawasan hutan (misalnya perumahan, perkebunan, dll).
Sementara setiap tahunnya, di Riau melalui dana APBN (termasuk kegiatan reboisasi dan penghijauan di kabupaten/kota yang menggunakan dana APBN), menurut Heri Soleh, Kasi Program DAS didampingi stafnya Didik, biasanya hanya mampu melakukan penghijauan untuk jatah sekitar 3.000 Ha per tahun. Kalau misalnya dibagi antara lahan kritis dengan dengan kemampuan penghijauan, yakni 819.276 Ha dibagi 3.000 Ha per tahun maka hasilnya 273 tahun atau hampir tiga abad. Itu kalau target 3.000 Ha tercapai dan semua pohon yang ditanam tumbuh semua.
Kalau tidak? Ya mungkin butuh waktu agak lima sampai enam abad. Asumsinya bisa dilihat dari realisasi tahun 2010 saja, dari target 3.000 ha yang terealisasi hanya 1.525 Ha. Selanjutnya dari semua pohon yang ditanam tersebut, ternyata tidak ada yang bisa tumbuh 100 persen. Normalnya, hanya 70 persen, itu sudah bagus.
“Dalam ilmu kehutanan, kalau menanam saja yang tumbuh 70 persen saja itu sudah baik. Karena dalam menanam makluk hidup, tidak bisa 100 persen,” ujar Sutrisna, Kasi Kelembagaan Daerah Aliran Sungai (DAS), (BPDAS) Indragiri-Rokan, Rabu (5/1) lalu.
Kondisi itu belum diperparah dengan peningkatan jumlah lahan terdegradasi yang bertambah terus. Ibaratnya lahan terdegradasi melaju bak deret ukur, sementara kemampuan untuk menanam pohon hanya bak deret hitung. Secara umum, kemampuan kita menanam pohon kalah dua kali lipat dari kecepatan degradasi hutan dan lahan.
“Di Indonesia setiap tahun terjadi degradasi lahan 1,08 juta Ha per tahun. Sementara kemampuan untuk melakukan reboisasi ataupun penghijauan hanya 500 ribu Ha per tahun,” papar Trisna, sapaan akrab Sutrisna yang banyak berkecimpung dalam soal menanam pohon oleh masyarakat dan kelembagaan.
Dengan demikian, untuk menghijaukan Riau tak bisa semata wayang dilaksanakan melalui dana pemerintah pusat (APBN), namun juga harus diikuti dengan dana pemerintah daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, TNI, ABRI dan masyarakat umum lainnya.

Baru Sekadar Euforia dan Tren
Pemerintah pusat memang tidak semata wayang melaksanakan penanaman pohon ini. Tetapi memang telah diikuti oleh berbagi pihak. Cobalah lihat berita di koran atau televisi. Hampir setiap pekan kegiatan menanam pohon dan bagi-bagi bibit gratis dilaksanakan. Ia telah menjadi euforia. Menjadi tren. Apapun kegiatannya selalu disanding dengan acara tanam pohon. Bahkan sampai acara kondangan pun, souvenir perkawinannya bibit pohon.
Sayangnya sejumlah bibit yang ditanam dan dibagi-bagi gratis itu segera berpulang alias mati usai acara dihelat. Baik karena tak disiram, dimakan hewan, ataupun bibit yang diberi lupa ditanam sehingga mati di polybag itu sendiri.
“Waktu itu, saya ke kondangan. Terus pas nulis buku tamu, kami dikasih kupon. Kupon itu pas pulangnya bisa ditukarkan dengan bibit pohon. Lalu saya ambil dan bawa pulang. Pas sudah pulang, saya mikir-mikir mau ditanam di mana. Eh, akhirnya kelupaan. Tahu-tahu bibit pohonnya sudah mati,” ungkap H Kadir, salah seorang pegawai swasta bercerita tentang pengalamannya mendapatkan bibit gratis, beberapa waktu lalu.
Lain lagi cerita M Nazir Fahmi, Ketua Panitia Clean, Green and Fruiful (CGaF) Riau Pos. Waktu melaksanakan kegiatan Pekanbaru CGaF di Kelurahan Sail, Kecamatan Tenayanraya. “Saat dilakukan pendaftaran siapa yang mau melakukan penanam, jumlahnya bertambah terus. Eh, pas dilakukan pengecekan kesiapan lubang tanam, ternyata banyak yang tidak buat. Bibit gratis yang diberikan ada pula yang disimpan di kamar. Kami juga menemukan banyak pohon yang ditanam mati tidak terawat,” ceritanya.
Banyaknya bibit pohon yang mati sebelum atau saat baru ditanam, memang menjadi fenomena saat ini. “Jika kegiatan menanam pohon itu untuk kegiatan seremonial dan dibagi-bagi gratis, memang kebanyakan pohonnya mati. Berbeda kalau yang diminta langsung oleh masyarakat untuk penghijauan di rumah atau arealnya. Itu biasanya jauh lebih berhasil karena keinginan mereka sendiri dan mereka memiliki tanggungjawab untuk merawatnya,” jelas Sutrisna.
Namun Trisna memahfumkan hal itu. Itu bagian dari proses untuk membuat menanam pohon nantinya menjadi kebutuhan masyarakat. “Ini sama halnya dengan program KB (Keluarga Berencana). Butuh beberapa dasawarsa untuk mensosialisasikannya. Dulu KB dianggap kebutuhan pemerintah. Sama halnya dengan sekarang menanam pohon ini. Ini dianggap tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.
Dia kemudian mengilustrasikan bagaimana dulu kondom dibagi-bagi gratis. Namun banyak yang menolaknya. Berbeda dengan sekarang, masyarakat malah membelinya dengan sendirinya ke apotik.
“Jadi, kegiatan menanam pohon ini memang membutuhkan waktu. Saat ini kita hanya bisa mendorong masyarakat dengan stimulus memberikan bibit gratis agar kelak itu menjadi kebutuhan bagi mereka,” jelasnya.
Sutrisna menjelaskan bahwa KB dan penanaman pohon tersebut merupakan proses perubahan perilaku. Untuk perubahan prilaku itu, sudah menjadi hukumnya bahwa memerlukan biaya tinggi, waktunya lama, hasilnya tidak bisa segera dilihat. “Untuk melakukan penghijauan itu biayanya besar. Besarnya dibiaya sosialisasi dan promosi. Namun kalau itu tidak dilaksanakan, maka program penghijauan untuk menjadi kebutuhan itu tidak akan dapat terlaksanakan,” paparnya.
Soal hitung-hitungan berapa biaya menanam pohon tersebut, Sutrisna tidak banyak berkomentar. “Itu sulit hitung-hitungannya. Namun yang jelas untuk perhektarenya dibutuhkan biaya sekitar Rp4-7 juta. Biasanya untuk satu hektare ada 400 bibit,” jelasnya. Jika demikian dalam hitung-hitungan kasar saja untuk menghijaukan Riau dibutuhkan biaya 819.276 Ha di kalikan Rp7 juta, maka nilainya menjadi Rp5.734.932.000.000. Lagi-lagi dengan asumsi jika tumbuh semua dan tidak bertambah lahan yang terdegradasi.
Dengan asumsi-asumsi itu, bisa dibayangkan berapa lama dan mahalnya biaya menanam pohon. Jadi mulai sekarang, yok tanam dan rawat pohon yang ada!***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province