Minggu, 14 Agustus 2011

Save The Earth: SVLK Harapan Warga Wonosobo Mimpi Memotong Sistem Perdagangan

SVLK Harapan Warga Wonosobo
Mimpi Memotong Sistem Perdagangan

Menjaga hutan lestari serta menanggulangi “tebang butuh” atau menebang sesuai biaya agar bisa memenuhi keperluan hidup tentu sangat sulit bagi masyarakat awam. Namun masyarakat Wonosobo yang  memiliki luas lahan hutan tanam masyarakat 1.222 hektare mampu menekan lajunya “tebang butuh” tersebut hingga hutan yang ditanam tetap lestari.

Laporan ERWAN SANI,Wonosobo 
erwansani@riaupos.com

HIJAU daun sengon (Albasia) dan lebatnya daun pada rumpun Salak Pondoh dan Salak Madu  di sepanjang menuju lima Desa pemilik lahan hutan rakyat Wonosobo menyejukkan mata. Terletak di lereng bukit hingga di atas bukit menjadi pemandangan yang tak mau dilewatkan. Di ruas jalan berkelok-kelok dan mendaki di dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah ini benar-benar menjadi tantangan sendiri.

Untuk mencapai lahan hutan rakyat seluas 1222 dari Solo Ibukota Jawa Tengah bukan waktu sebentar, karena harus menempuh jarak 120 kilometer. Itupun harus menggunakan roda empat. Beberapa ibukota kabupaten harus dilewati, mulai dari Klaten, Jogjakarta, Sleman, Magelang baru memasuki kabupaten Wonosobo. Sedangkan dari Wonosobo untuk mencapai lima desa penghasil hutan rakyat tersebut harus ditempuh dengan jarak 20 kilometer.

‘’Inilah hutan sengon dan salak penopang hidup masyarakat Wonosobo. Meskipun sebagai sumber mata pencaharian namun hutan tetap lestari,’’ kata Dwi Raharjo dari ARuPA yang merupakan pendamping untuk pengembangan hutan lestari di Wonosobo sambil menunjuk batang sengon yang sudah besar dan siap panen ketika memasuki lahan hutan rakyat yang rindang dan asri tersebut.

Tampak beberapa dump truk dengan kayu sengon membumbung melintas dan adapula yang sedang melakukan pemuatan di tepi jalan menuju pusat pengembangan hutan lestari di kabupaten yang mendapat gelar kota hutan rakyat di Indonesia tersebut.

Setelah melakukan perjalanan selama empat jam, akhirnya Riau Pos bersama dengan rombongan tiba di sekretariat Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo. Di sekretariat telah menunggu beberapa orang bapak-bapak dan telah duduk  Ketua APHR yang juga Kepala Desa Kalimendong, Nisro. Saat itu dirinya langsung mempersilakan rombongan untuk duduk pada kursi yang sudah disusun teratur di ruang tamu sekretariat.  ‘’Kita langsung mulai saja ya,’’ ajak Kepala Desa Kalimendong ini lagi.

Sebagai Ketua APHR dirinya mulai menyampaikan kiat-kiat mereka untuk  menjaga hutan agar tetap lestari. Awalnya kata Nisro,  bersama sekelompok   masyarakat Joko Madu (gabungan lima desa), Kecamatan  Leksono,  Kabupaten Wonosobo berupaya mengelola hutan mereka secara adil dan  lestari. Mereka bergabung dalam Asosiasi Pemilik Hutan  Rakyat (APHR). Organisasi yang akan mengeluarkan sertifikat kayu sebelum di pasarkan.

Nantinya, setiap log kayu hasil tebangan memiliki legalitas  jelas.  Jokomadu, singkatan dari Desa Jonggol Sari, Kali Mendong, Mangis, Duren Asih di Kecamatan Leksono dan Desa Burat, Kecamatan Kepil di Kabupaten Wonosobo. Anggota asosiasi  menurutnya sampai saat sekarang jumlahnya cukup banyak, sebab  jumlahnya  mencapapai 4.034 orang dari empat desa. Luas hutan rakyat 1.222 hektar. Terdapat 1.043 batang pohon sengon atau albasia dan ribuan pohon salak sebagai tanaman tumpangsarinya. Tanaman yang menopang kebutuhan warga setempat selain kayu.   

Menurutnya, APHR lahir, 10 Mei lalu. Gagasan warga Joko Madu didampingi lembaga AruPA, yang konsen dengan lingkungan. Seiring adanya peraturan menteri kehutanan Nomor 38 Tahun 2009 tentang standarisasi dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu. Modal awal mereka, prestasi pada tingkat nasional    tentang pengelolaa hutan rakyat dengan sistem “tebang butuh”. Yakni boleh menebang pada saat masyarakat butuh uang.

“Warga menebang kayu karena benar-benar butuh uang. Biasanya untuk biaya sekolah dan biaya pernikahan,” kata Ketua APHR Wonosobo ini lagi. Menekan jumlah tebangan, APHR bergerak mensosialisasikan program sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Tak mudah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pemilik hutan rakyat dan pedagang pengumpul. Warga belum menuai keuntungan program. Tak ada jaminan mendapat harga lebih tinggi dibanding kayu tak bersertifikat. Bahkan mereka berpikiran, SVLK bertele-tele sebab harus melapor setiap kali akan menebang kayu.

 “Itu kendala di lapangan. Kami tak menyerah. Kami optimis, ke depan harga akan lebih baik. Pangsa pasar lebih mudah,” kata Nisro.

Nisro menyebutkan, beberapa industri kayu telah melirik kayu Joko Madu. Bahkan, ke depan, pedagang pengumpul yang tak memakai SVLK terancam tak dapat membeli kayu bersertifikasi. Sosialisasi programpun tidak hanya kepada petani, namun telah merambah kepada pedagang dan pelaku  industri  atau pengolah kayu.

APHR menargetkan, SVLK bakal berlaku tahun 2012 mendatang. Saat ini, APHR tengah menunggu hasil audit dari lembaga Scopindo. Audit pertama dalam rangka untuk mendapatkan sertifikat. Sertitikat belum mengarah pada balok kayu. Masih sebatas kejelasan lokasi atau asal-usul kayu. Kayu tebangan  berdiameter 30 sentimeter. Minimal berumur 5-6 tahun.

Tebang Kayu Lapor RT
APHR terus berupaya menjadikan hutan di Wonosobo tetap lestari dan ke depan pihaknya akan melakukan upaya untuk memberikan insentif  kepada RT jika sertifikasi sudah didapatkan. Jaminan kenaikan insentif tersebut bakal dibicarakan kepada Pemkab, karena RT ikut melestarikan hutan di Wonosobo.

 ‘’Sertifikasi yang akan kita dapatkan jadi modal untuk  meminta anggaran untuk pemeliharaan hutan dan juga kenaikan  insentif untuk RT,’’ kata Nisro.

 Kenaikan insentif untuk RT akan berujung terhadap penjagaan hutan agar tetap lestari. Meskipun milik masyarakat, kata Nisro, tetap saja masyarakat memberi tahu kepada RT setempat saat menebang hutan tananaman mereka. ‘’Bukan hutan yang akan di tebang saja, hutan yang ditanam berapa jumlahnya juga lapor ke RT. Dan RT akan melapor ke Desa dan APHR dan kita turun meninjau,’’ jelas kades yang mendapat penghargaan peduli lingkungan dari Gubernur Jawa Tengah tahun 2007 lalu.

 Hal itu dilakukan, agar APHR tahu pasti berapa sisa hutan masyarakat yang bersisa dan berapa yang sudah ditanam kembali. Jadi, “tebang butuh” yang selama ini diterapkan masyarakat bisa dibatasi dengan memberikan masa tenggang penebangan dan pelestarian kembali. ‘’Kuncinya hutan rakyat di Wonosobo berjumlah ribuan hektare ini tetap terjaga,’’ jelasnya.

Sertifikasi Bantu Masyarakat
Dengan jumlah anggota APHR sebanyak 4.384 KK dari lima desa bukan jumlah sedikit. Jadi kesejahteraan mereka tentu menjadi perhatian khusus. Oleh sebab itu APHR melakukan upaya negosiasi berbagai pihak perbankan untuk mendapatkan bantuan biaya.

Salah satunya memberikan bukti PBB kepada pihak perbankan, sehingga mereka mendapatkan bantuan untuk per-RT mencapai Rp15 juta. Sebagai jaminan pihak APHR memberikan jaminan berupa hasil hutan dan juga perkebunan salak yang ada di kebun masyarakat. ‘’Ternyata pihak perbankan setuju. Dan ini sangat membantu kita,’’ jelasnya.

Untuk mendapatkan pinjaman selama ini pihak APHR belum memiliki sertifikat. ‘’Apalagi dapat sertifikat, saya yakin pinjaman lebih besar lagi bisa kami dapatkan,’’ jelasnya.

Dengan jaminan kesejahteraan melalui hutan milik masyarakat tersebut dirinya yakin pelestarian hutan yang diinginkan bisa tercapai. ‘’Jadi hutan lestari masyarakat tetap sejahtera dan tak perlu menebang hutan sembarangan saja,’’ jelasnya.

Upayakan Tumpang Sari dengan Salak
Selain mengelola hutan sengon lima desa di Wonosobo juga menjadi daerah penghasil buah salak yang cukup terkenal di Jawa Tengah terutama di daerah Kali Mendong. Bahkan dalam untuk saat sekarang untuk rumpun salak yang ada di Kali Mendong mencapai 336 ribu rumpun.

Dengan sistem tumpang sari hutan sengon dan salak benar-benar memberikan nilai plus bagi masyarakat di Desa Kali Mendong. Bahkan satu rumpun sawit sudah bisa memenuhi keperluan hidup bagi pemilik lahan hutan sengon. ‘’Jadi selama ini diselingi dengan ubi kayu atau ubi jalar, sekarang dirubah dengan rumpun salak. Ternyata memberikan nilai ekonomis dan menjaga tanah agar tidak terjadi erosi, jika terjadi penebangan hutan masyarakat,’’ lanjut Dwi Raharjo.

Dalam kesempatan itu Nisro juga menyampaikan kalau di daerah mereka saat sekarang sudah memiliki dua jenis salak. Pertama salak pondoh dan salak madu. ‘’Alhamdulillah ini cukup berhasil di tengah masyarakat,’’ jelasnya.

Jadi upaya APHR benar-benar mengupayakan masyarakat bisa berhasil dan memiliki nilai tambah. Paling tidak memberikan pemahaman kepada masyarakat berapa pentingnya penyelamatan hutan dan lingkungan. ‘’Agar jadi contoh bagi masyarakat di Indonesia, bahwa hutan bisa tumbuh jika dijaga bersama dan dikelola secara baik,’’ tegasnya. (ndi)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province