Tak banyak desa di kawasan taman nasional yang seperti ini. Hutannya yang asri dan kepedulian masyarakatnya beradaptasi dengan alam. Rerimbunan hutan, air sungai yang hijau menghitam dan cengkerama satwa rimba, entah sampai kapan akan bertahan.
Laporan BUDDY SYAFWAN, Bukit Tiga Puluh buddy_syafwan@riaupos.comPUTARAN ban kendaraan roda empat yang di gunakan Riau Pos dan rombongan World Wide Fund and Nature (WWF) masih tak hendak berhenti. Jalan tanah berwarna kuning yang licin telah dilalui. Jurang-jurang kecil dan titi-titi kayu yang hampir rubuh pun sudah dilintasi. Menurun dan mendaki. Itu sekilas perjalan sebelum akhirnya mobil berhenti di tapal batas yang membelah Bukit Tiga Puluh dengan Batang (Sungai) Gangsal.
Hanya ada tiga batang kayu tua berukuran besar yang hanya bisa dilintasi sepeda motor. Kayu sepanjang lebih 20 meter dan punya diameter 1,5 meter yang disusun tiga baris itu adalah penyambung jalur lintas menuju beberapa dusun-dusun kecil yang dihuni warga Talang Mamak dan warga Melayu tempatan.
Itulah Desa Rantau Langsat. Jembatan kayu berumur puluhan tahun itu adalah satu-satunya jalur darat yang bisa dilalui warga yang tinggal jauh di dusun-dusun yang terletak di pelosok hutan taman nasional yang menjadi habitat konservasi harimau. Sisanya, bila hendak menuju dusun-dusun yang lebih jauh, hanya ada satu alternatif, yakni menaiki sampan atau perahu mesin.
Pimpinan rombongan, Osmantri memilih mencarter perahu mesin milik warga agar bisa menelusuri lebih jauh kondisi kawasan hutan dengan luas lebih dari 153 ribu hektare ini.
Sama asrinya dengan rimbunnya kawasan hutan di puncak-puncak tebing dan bukit, Batang Gangsal juga memberikan eksotisme ekologis yang hampir tidak bisa ditemukan lagi di berbagai belahan wilayah di Riau.
Meski memiliki sejumlah kawasan hutan, namun, kondisi alam yang masih lestari baik di darat maupun perairan itu jelas tak mudah bisa ditemukan lagi. Air sungai yang jernih, simbiosis mutualisme yang dibangun antara manusia dan alam, hutan lebat yang menyimpan banyak kekayaan hayati. ‘’Masya Allah... benar-benar indah sekali di sini. Ternyata Riau masih memiliki daerah seperti ini...’’ celutuk Ririn, salah seorang anggota rombongan yang ikut dalam ekspedisi kecil ini.
Tak berapa jauh dari lokasi pemberangkatan di bawah jembatan kayu, sejumlah warga Talang Mamak terlihat sedang melakukan aktivitas mandi, mencuci di pinggiran sungai yang panjangnya membentang mulai hingga ke Sungai Indragiri.
‘’Panjang sekali, kalau dilintasi menggunakan jalur air. Kita berangkat pagi jam 8, sampai di Datai—desa paling ujung yang ada di wilayah Rantau Langsat— sampainya jam 5 sore,’’ungkap Pawi, pemilik yang juga menjadi pengemudi sampan motor yang digunakan rombongan.
‘’Kalau jalannya sore seperti ini, kita tak bisa sampai ke Datai, karena air sudah surut. Sampan motor sulit untuk melintas karena kandas,’’ imbuh Pawi yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini.
Meski sudah berumur, Pawi sangat cekatan dalam menakhodai sampan motor yang dia miliki. Dia juga sangat mengenal kawasan hutan di sepanjang sungai Batang Gangsal yang berair hitam kehijauan itu. Termasuk perihal kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan alam.
‘’Kalau harimau, sering muncul di pinggir sungai ini. Biasanya kalau hari panas. Harimau mencari air di pinggir sungai. Tapi, selama ini, hampir tak pernah ada masalah masyarakat dengan harimau,’’ papar Pawi yang dibantu sejumlah kru seperti Sadi dan Boyak.
Sesekali dalam perjalanan melintasi Sungai Batang Gangsal ini, puluhan monyet dan orang utan bergelantungan di atas pepohonan karet alam dan pohon hutan sehingga menimbulkan suara gemerisik.
Pepohonan menjulang tinggi yang bediri tegak menantang matahari itu bukan hanya menjadi milik satwa yang hidup di hutan, namun juga warga setempat yang menggantungkan diri dari hasil hutan seperti karet, jernang atau manau.
Belum lagi kelebatan-kelebatan ikan di dalam air yang sesekali terlihat di bawah perahu motor. Bagi warga, mereka adalah sumber kehidupan. Tidak ada potas, racun atau pukat harimau yang menghabisi seluruh habitat ekosistem yang menjadi tempat hidup bagi aneka ikan seperti semah (soma), tapah, kelari, buntal sungai juga beberapa jenis lainnya.
Batang Gangsal memang ibaratkan surga hidup bagi ikan-ikan khas air tawar yang ada di Sungai Indragiri yang mungkin sudah jarang bisa di dapatkan di kota-kota. Bagi warga, untuk mendapatkan ikan tersebut ternyata bukan hal yang sulit.
Rombongan juga sempat menyaksikan sejumlah warga setempat di perbatasan desa menjinjing puluhan ekor ikan asli Batang Gangsal ini dengan cara melubangi bagian mulut ikan dan mengikatnya dengan rotan atau akar kayu. Mereka menggunakan senapan dengan peluru tombak kecil sebagai alat berburu ikan di sungai.
Itulah Rantau Langsat dan warganya yang terus bersebati dengan alam sebagai sarana pemenuhan hidup.
Desa Konservasi
Desa Rantau Langsat adalah desa paling ujung yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) di Kecamatan Siberida Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Sebelum sampai ke desa tersebut, ada beberapa desa yang harus dilalui dari Jalan Lintas Timur Sumatera, yakni Desa Siberida, Desa Usul, Siambul. Karena posisinya yang paling ujung dan berada di dalam kawasan hutan, medan yang harus ditempuh untuk sampai ke pusat pemerintahan juga medannya sangat berat. Meski sudah ada jalan setapak dan semenisasi, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi minimnya prasarana seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, listrik dan air bersih.
Karena seluruh bagian desa berada dalam kawasan TNBT, desa ini pun secara administratif dijadikan sebagai desa konservasi oleh pengelola taman nasional. Artinya, Rantau Langsat adalah desa yang sistem pengelolaannya, penataan hidup masyarakat dan otoritas pengelolaan yang dilakukan tetap mengacu pada upaya mendukung konservasi dan pelestarian alam, khususnya kawasan hutan.
Bila mayoritas desa-desa lainnya yang sedianya masih termasuk kawasan hutan penyangga di luar TNBT hampir sebagian besar telah tergerus perkembangan pembangunan seperti berubah menjadi kawasan pemukiman, perkebunan kelapa sawit dan tanaman monokultur, tidak halnya dengan Rantau Langsat.
Riau Pos hanya menemukan beberapa batang tanaman sawit tumbuh di lahan warga. Kebanyakan masyarakat masih menggantungkan diri dari alam seperti menakik getah karet, mengambil jernang (Dhaemonorops Draco/dragon blood) serta manau, rotan di hutan atau menangkap ikan. Namun, bukan berarti di kawasan ini tidak ada minat dari investor untuk melakukan alih fungsi lahan dengan melibatkan masyarakat.
‘’Sudah banyak pengusaha datang menemui saya dan warga. Mereka menawarkan pada kami uang, mobil dan segalanya, asal bersedia memberikan lahan kepada mereka untuk menanam sawit. Namun, sejauh ini kami belum tergoda. Masyarakat kami masih mencintai alam sebagai tempat menyandarkan hidup,’’ papar Muhammad Nasir, Kepala Desa yang sehari-hari biasa disapa Tupen di kediamannya di Rantau Langsat.
Tupen sendiri mengaku sudah beberapa kali ditemui, diundang untuk menerima hadiah-hadiah tersebut. Namun, tak sekalipun dia hendak menerimanya. ‘’Pernah mobilnya langsung diantarkan ke sini. Ada juga yang bilang kita bodoh, karena tak mau menerima hadiah tersebut. Tapi saya sudah berjanji dalam diri saya. Selama saya masih menjadi Kades di Rantau ini, saya akan tetap mempertahankan alam ini,’’ tegas Tupen.
Namun, diakui dia, menerima apa adanya kondisi yang ada di desa ini jelas bukan pilihan yang baik juga. Apalagi dengan kondisi keterbatasan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Karena itulah, Tupen mengaku sangat senang sekali ketika ada pejabat atau orang-orang dari luar datang menawarkan program sepanjang tidak merusak alam.
‘’Terakhir beberapa bulan lalu Pak Bupati Inhu, Pak Yopi pernah berjanji akan membantu membangun desa ini. Kami juga sudah dibantu untuk Puskesmas Pembantu juga sarana pendidikan di beberapa dusun. Tapi, itu masih belum memadai. Kalau Bapak juga ada program, kami tak pernah menilai, besar atau kecil, banyak atau sedikit, kami menerimanya, asal masyarakat kami bisa maju,’’ tutur dia.
Salah satu yang paling mendesak, diakui Tupen adalah sarana pendidikan. Tujuannya juga tak muluk-muluk, yakni agar sampai ke anak cucu nanti, komitmen untuk menjaga keseimbangan hidup manusia dan alam tetap terjaga. Dengan pengetahuan kami berharap anak-anak akan menjadi pintar dan tahu bagaimana menjaga apa yang mereka miliki saat ini untuk dikelola ke depan,’’ imbuh dia.
Memang tak mudah bagi orang-orang dari luar Rantau Langsat mengubah persepsi masyarakat setempat tentang alam. Bahkan, mereka menjadi benteng pertahanan yang paling kokoh untuk tetap mempertahankan keberadaan Bukit Tiga Puluh yang dewasa ini juga terus tergerus oleh proses okupasi dan perambahan.
Beberapa tahun lalu, dijelaskan Muhammad Nasir, pihaknya juga pernah memperkarakan sebuah perusahaan yang berencana membuka kawasan hutan menggunakan alat berat dan membuat akses yang lebih dekat antara Desa Rantau Langsat dengan Jalan Lintas Timur Sumatera di Siberida. Alasannya sederhana. Bila saja hutan itu dibuka, akses terbuka, maka proses okupasi lahan akan semakin cepat terjadi dan jalan akses akan memudahkan banyak pihak untuk mengeluarkan kayu dari kawasan hutan yang ada. ‘’Bukan kami tak mau desa kami maju. Tapi, kalau harus merusak hutan, kami tak mau,’’ ujarnya bersikukuh.
Bila diukur berdasarkan rute lintas melewati Desa Siberida, Usul, Siambul, maka waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan berkisar 30 kilometer jalan tanah. Sementara, bila akses terdekat dari Lintas Timur yang hendak di buka, jaraknya hanya berkisar 8-10 kilometer.
Terabaikan Koordinator Human-Tiger Conflic (HTC) WWF, Osmantri yang juga pernah menetap di kawasan tersebut beberapa tahun mengungkapkan, pemerintah, khususnya pemegang otoritas atas kawasan hutan ini lambat dalam mengantisipasi perkembangan yang ada di desa Rantau Langsat. ‘’Keadaan mereka selama ini terabaikan. Padahal, mereka adalah potensi besar dari penduduk tempatan yang mempunyai komitmen untuk tetap hidup berdampingan dengan alam yang kondisinya juga masih sangat terjaga,’’ ungkap Osmantri.
Osmantri membandingkan minimnya prasarana yang dimiliki desa tersebut dibandingkan dengan desa-desa di sekitar kawasan hutan lainnya di Riau. ‘’Bukit Rimbang-Baling mungkin termasuk kawasan hutan yang masih cukup terjaga. Hutannya ada, aksesnya terbuka, tapi sarana pendidikan di tiap desa ada untuk tingkat SD, bahkan SMP. Sarana kesehatan juga tersedia.
Sementara di Rantau Langsat, hanya ada SD, mudah-mudahan tak kelas jauh. Mudah-mudahan juga ke depan sarana kesehatan dan listrik tersedia, sehingga warga tak harus menggunakan genset sebagai sumber penerangan.
Namun, untuk perekonomian, Osmantri berharap ada kebijaksanaan dari pemerintah, khususnya pemegang otoritas untuk memberdayakan. ‘’Kalau mau jujur, dari seluruh desa yang ada di sekitar TNBT ini, Rantau Langsat paling miskin. Padahal, program untuk desa konservasi tidak harus membuat desa-desa itu terbangkalai dan berada dalam kemiskinan,’’ keluhnya.
Dengan kondisi menggantungkan diri dari hasil hutan yang dikelola secara sederhana dan turun temurun, warga Rantau Langsat memang tetap bertahan hidup. Namun, jauh tertinggal dibandingkan desa-desa yang tersentuh industri termasuk perkebunan.
‘’Mengapa tidak, pemerintah membuat program khusus untuk satu-satunya desa yang memegang ‘’komitmen’’ konservasi ini ?,’’ tantang Osmantri.
Contohnya, sebut dia, pemerintah membuat program terencana untuk pembangunan kawasan berwawasan lingkungan yang juga menjamin keberlanjutan ekonomi secara baik, termasuk mempertahankan sosio budaya mereka.
‘’Mengapa tidak pemerintah membuat program intensifikasi tanaman karet yang hasilnya bisa lebih meningkatkan taraf ekonomi dan penghasilan warga, atau meningkatkan teknik pemanfaatan hasil hutan sehingga bisa menambah nilai jual?’’ tantang Osmantri lagi.
Beberapa potensi hasil hutan dan alam yang ada bahkan punya nilai ekonomi tinggi. Seperti jernang (Dragon Blood), dikenal sebagai buah hutan yang banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan pewarna, kosmetik, minyak wangi termasuk juga sebagai penyembuh penyakit kanker.
Osmantri juga memaparkan, dengan melihat potensi keindahan alam, baik hutan dan sungai, Rantau Langsat juga sangat tepat untuk dikembangkan menjadi kawasan untuk wisata ekologi yang dewasa ini banyak didengungkan pemerintah.
‘’Saya yakin, Rantau Langsat ini lebih dibandingkan sejumlah kawasan wisata di Sumatera Barat. Apalagi dengan kondisinya yang masih belum terjamah oleh kepentingan industri. Ini sebuah tantangan yang sebenarnya sudah lama diharapkan dijawab oleh pmegng otoritas kawasan,’’ ungkap dia.
Meski terletak cukup jauh, berkisar 6 jam dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru, namun kawasan hutan dan sungai di Batang Gangsal dan Bukit Tiga Puluh ternyata cukup di kenal sebagai kawasan dengan potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Bahkan, sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen-dosen lingkungan terkait potensi yang terkandung di dalamnya.
‘’Wah, kalau dihitung sebenarnya sudah tak terhitung yang datang ke mari. Sudah banyak sekali. Kalau untuk penelitian, sudah tak terhitung. Ada yang dari Jepang, Korea, juga dari pulau Jawa seperti IPB. Kalau mereka datang, lumayanlah hasilnya untuk kami. Tapi kalau tak ada, sampan saya ini ya cuma untuk transportasi masyarakat antar dusun atau mengangkut hasil bumi untuk diperjual belikan,’’ ungkap Pawi.
‘’Terakhir, bulan lalu, ada shooting acara televisi oleh Tv One dan Kementerian Kesehatan untuk program Puskesmas Terapung. Kita bawa juga melintasi sungai ini hingga ke Datai,’’ kenang Pawi.
Lubuk Tujuh Pintu
Sebenarnya, ada masih cukup banyak potensi yang bisa dikelola sebagai konsekwensi dari sinergi antara alam dan manusia. Termasuk diantaranya potensi lubuk tujuh pintu di Batang Gangsal yang oleh warga dianggap sebagai pintu keluar masuknya ikan-ikan besar di kawasan ini.
Lubuk Tujuh Pintu sendiri adalah sebutan untuk pintu-pintu seukuran tubuh manusia berbentuk terowongan yang jumlahnya sebanyak tujuh buah yang terletak di dasar Batang Gangsal yang di dalamnya diduga sebagai tempat hidup aneka jenis ikan. ‘’Kemarin salah satu televisi sempat berencana melakukan shooting Mancing Mania dengan menelusuri Lubuk Tujuh Pintu itu. Namun, akhirnya mereka tidak melanjutkan karena kondisinya belum banyak diketahui. Sebenarnya ada beberapa warga yang pernah masuk dan berani menerobos terowongan di dasar sungai ini. Tapi, banyak juga yang takut karena khawatir ada ikan-ikan besar yang juga bisa memangsa manusia,’’ jelas Sadi, kru sampan Pawi.
Begitupun, tanpa harus menyusuri hingga daerah-daerah seperti Lubuk Tujuh Pintu, warga tak pernah kesulitan untuk mendapatkan ikan. Apalagi, di kawasan tersebut cukup banyak lubuk yang lebih dangkal serta beberapa tempat persembunyian/rumah ikan yang sengaja dibuat warga menggunakan ranting kayu dan dedaunan yang lazim disebut bumbum yang ternyata bisa memberikan kehidupan yang lebih menjanjikan.
‘’Biasanya warga disini menangkap ikan malam hari, menyelam menggunakan senapan air dan kacamata. Kalau di bumbum, itu biasanya yang masuk ikan-ikan besar seperti tapah atau kelari,’’ ucap Sadi. Menyusuri keindahan alam yang membelah Rantau Langsat dan Bukit Tiga Puluh tak akan membosankan. ‘’Kalau bisa bermalam disini, agar bisa merasakan suansananya,’’ ajak Pawi.***
Tweet
0 komentar:
Posting Komentar