Senin, 22 Oktober 2012

Mereka yang Berjuang Mendapatkan Adiwiyata Dari Posling Sampai Kompos


Bagi sebagian besar sekolah-sekolah di negeri ini, permasalahan pengelolaan lingkungan sekolah yang bersih, sehat dan rapi masih terkesan sulit dilaksanakan. Sampah berserakan, lingkungan sekolah yang kotor serta minimnya pengetahuan tentang lingkungan membuat mereka cuek. Tapi, tak semuanya begitu, beberapa diantaranya menerobos pesimisme itu dengan menorehkan prestasi.
Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru buddysyafwan@riaupos.co
Dilihat sekilas dari luar pagar, pasti banyak orang yang tak tahu kalau bangunan berlantai dua di dalam pagar galvinis setinggi hampir dua meter tersebut adalah sekolah. Pepohonan yang tinggi menjulang menutupi hampir sebagian besar pembatas sekolah itu dengan lingkungan di sekitarnya.
Hanya sebuah plang di atas pintu masuk bertuliskan ‘’Wellcome to Our Beloved Green School’’ yang menjadi tanda kalau bangunan di balik pagar tersebut yang menandakan gedung bertingkat dengan dinding berwarna hijau, putih dan merah muda itu adalah sebuah sekolah yang saat ini banyak menjadi incaran bagi para orang tua untuk mendidik anak-anaknya.
Pohon-pohon itu memang dibiarkan tinggi menjulang oleh pihak sekolah. Sama halnya dengan sebatang pohon beringin tua yang akar dahannya sudah menyembul ke luar serta daun-daunnya yang tumbuh lebat dan rimbun menutupi beberapa bangunan dan sisi-sisi penting dari sekolah tersebut.
‘’Ya, memang sngaja dibiarkan seperti itu Mas, Tapi, kebersihannya, sampah dedaunan itu tetap dibersihkan. Tiga kali sehari, pagi, siang dan sore hari,’’ jelas Khairus Saleh, salah seorang guru di sekolah yang dulunya bernama SD Negeri 005 Bukitraya.
Sampah-sampah dedaunan itu dikumpulkan bukan oleh petugas kebersihan sekolah, namun langsung oleh murid-murid berseragam putih merah yang kala itu sedang menggunakan busana melayu berwarna merah muda.

Apakah langsung dibuang? ternyata tidak. Oleh pihak sekolah, sampah-sampah dedaunan yang gugur di pekarangan sekolah setiap hari tersebut dikumpulkan ke sebuah bak penampungan yang ada di belakang, tepat di balik pagar yang berbatasan dengan Jalan Kavling II.
Saat Riau Pos meninjau bak penampungan itu, ternyata ada tiga blok yang disediakan. Satu blok berisikan daun-daun yang masih berwarna kekuningan atau baru saja gugur, satu blok lainnya terlihat sudah mulai berwarna kehitaman dan satu blok lainnya sudah berupa humus muda. ‘’Kalau yang hitam ini, kira-kira sudah ditampung sekitar sebulanlah. Setelah dicampur dengan cairan kimia, proses pembusukannya lebih cepat dan dalam waktu sebulan, sudah bisa menjadi pupuk kompos alami,’’ jelas lelaki yang sehari-hari juga bertugas sebagai Penanggung Jawab Kurikulum Lingkungan Hidup SDN 83 Pekanbaru itu.
Memang, diatas bak penampungan sampah sekolah yang mudah terurai itu terlihat ada banyak bungkusan dengan plastik transparan yang berisikan serbuk-serbuk berbentuk pasir dan tanah berwarna kehitaman.
‘’Itu kompos yang sudah kita olah dan siap di jual. Per bungkusnya, seharga Rp10 ribu. ini alami, dari sampah sekolah. Dari pengelolaan sampah ini saja, kami sudah bisa memperoleh pemasukan,’’ imbuh Khairus.
Saat melakukan peninjauan terhadap fasilitas ‘’ramah lingkungan’’ itu, Khairus juga menunjukkan beberapa sarana lainnya yang dimiliki oleh sekolah yang sudah empat kali menjadi penerima penghargaan Adiwiyata, termasuk Adiwiyata Mandiri (penghargaan tertinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pendidikan untuk sekolah yang peduli dengan kebersihan lingkungan) itu.
‘’Kita juga punya tong dan bak pembuangan sampah dari aktivitas sekolah. Tong-tong itu dibagi tiga, yakni untuk sampah organik, non organik dan sampah kertas. Tong-tong itu tak hanya terdapat di belakang sekolah, namun berjejer rapi di depan tiap-tiap kelas. Tujuannya supaya siswa tak harus jauh-jauh membuang sampah dan mudah mengawasinya,’’ papar dia lagi.
Tak cukup waktu untuk menjelaskan detail program ‘’ramah lingkungan’’ yang dilakukan oleh sekolah berstatus ‘’Sekolah Lingkungan’’ ini. Karena, hingga hal-hal kecil pun, seolah tak lepas dari pemahaman tentang ramah lingkungan, padahal, para murid yang ada di dalam rungan kelas itu, umurnya pun masih berkisar 7-12 tahun. Usia yang sangat dini untuk mengenal apa itu lingkungan dan apa-apa yang berkaitan dengan kebersihan, ketertiban.
Namun, disinilah kelebihan dari sekolah yang dipimpin oleh Dra Hj Umi Salmah MM ini. ‘’Kalau sebagian masyarakat mungkin beranggapan kalau mendidik siswa berwawasan lingkungan itu sulit untuk anak-anak seusia anak-anak ini, bagi kami ini malah memudahkan. Kita cukup memberikan contoh dan mengarahkan mereka secara rutin, akhirnya pemikiran mereka juga mudah tercermin dalam aplikasi pemahaman terhadap lingkungan ini,’’

jelas Penanggung Jawab Adiwiyata SDN 83 Pekanbaru, Dewi Maya didampingi Penanggung Jawab Sekolah Sobat Bumi (SSB), Vien Afre Ika Putri SPd yang juga ikut mendampingi Riau Pos saat berkunjung ke sekolah itu.
‘’SSB ini program baru. Baru saja dua hari ini kami menerima penghargaan dari Presiden melalui Kementerian LH, Kementerian Pendidikan dan difasilitasi Pertamina Foundation sebagai Sekolah Sobat Bumi (SSB). Ibu Kepala Sekolah masih di Jakarta, karena masih ada beberapa pembahasan terkait persiapan pelaksanaan program nasional yang hanya bisa diikuti oleh sekolah-sekolah yang pernah mendapatkan anugerah Adiwiyata Mandiri,’’ jelas Dewi.
Memulai memperkenalkan lingkungan yang bersih, sehat, rapi dan tertib itu, menurut Dewi, jauh lebih mudah dibandingkan dengan anak-anak yang usianya lebih dewasa dan matang secara fisik dan pemikiran. Awalnya, memang sempat muncul penolakan. Tapi, lama kelamaan, semua pihak mulai menerima. ‘’Banyak orang tua senang, bila dulu, anak-anaknya sulit untuk bersih-bersih di rumah, sekarang malah rajin bersih-bersih. Dulu mungkin menyapu menjadi urusan orang tua atau pekerja rumah tangga, sekarang malah anak-anak suka menyapu, merapikan rumah, mungkin itu terbawa dari kebiasaan yang dibangun di sekolah,’’ timpal Vien Afre.
SDN 083 mulai merintis sekolah berwawasan lingkungan semenjak tahun 2007 lalu. Kala itu, baru sebatas mengikuti program penilaian sekolah berwawasan lingkungan untuk mendukung penilaian Adipura dari kebersihan sekolah. Selanjutnya, secara intens, SDN 083 menyabet penghargaan Adiwiyata. Bahkan, saat ini, sudah ada 10 sekolah binaan di Pekanbaru yang mereka kelola secara intens sebagai persyaratan bagi sekolah peraih Adiwiyata Mandiri.
‘’Di tambah 10 sekolah di program SSB, artinya, sudah ada 20 sekolah yang masuk program pembinaan. Satu diantaranya malah berasal dari luar Riau, yakni di Lampung,’’ imbuh Vien yang mengaku baru saja pulang dari Jakarta setelah mendampingi kepala sekolah untuk menerima SSB.
‘’Ada rasa rindu bila jauh dari sekolah ini. Karena, di sini, kami merasa tenteram, nyaman, lingkungannya membut kami juga merasa damai karena dipenuhi pepohonan hijau yang rimbun,’’ imbuhnya lagi.
Tak ada sampah berserakan di parit, kecuali daun yang baru saja beberapa jam gugur. Termasuk di dalam ruangan kelas. ‘’Anak-anak, kalau mau buang sampah, meraut pensil, itu langsung di tong yang ada di depan kelas. Jadi, kalau biasa kita lihat anak-anak suka meraut di bawah meja, di sini, tidak ada seperti itu,’’ timpal Dewi lagi.
Bagi para siswa yang masih berpikiran anak-anak ini, tentunya tak jarang suka lalai untuk menjaga kebersihan. Namun, begitu mereka salah, akan ada petugas Polisi Lingkungan (Posling) yang akan mengingatkan teman-temannya untuk membuang sampah pada tempatnya.
‘’Di tiap-tiap kelas, ada tiga orang kita tunjuk sebagai Posling. Mereka saja yang mengingatkan teman-temannya kalau lalai. Alhamdulillah, sejauh ini, itu efektif untuk mendisiplinkan,’’ ungkap Khairus.
Tentunya, tak sekedar memberi perintah, bagi para guru pun, kewajiban untuk hidup bersih di lingkungan sekolah juga diwajibkan. Setiap pagi hari, sebelum memulai masuk kelas, ada waktu sekitar 10 menit dimanfaatkan untuk membersihkan lingkungan sekolah. Guru juga pegang sapu, pegang cangkul, harus memungut sampah juga membersihkan selokan.
Mereka Berjuang
Kisah di SDN 83 Pekanbaru ini, saat ini baru sebagian dari kisah perjuangan merebut Adiwiyata bagi sekolah-sekolah di Pekanbaru dan Riau umumnya. Ada beberapa sekolah lainnya yang juga sudah memantapkan diri sebagai peraih predikat sebagai sekolah peraih Adiwiyata, termasuk Adiwiyata Mandiri. Sebut saja misalnya di SMA Negeri 8 Pekanbaru yang juga pernah mendapat Adiwiyata Mandiri, SDN 016 Senapelan, SDN 007 Senapelan, SDN 001 Rintis yang pernah meraih Adiwiyata. Juga SMAN 1 Pekanbaru, SMAN 2 Siak Hulu, SMPN 17 Pekanbaru, SDN 003 dan beberapa sekolah lainnya yang saat ini juga sedang berjuang untuk dapat meraih penghargaan sebagai sekolah berpredikat berwawasan lingkungan tersebut hingga tingkat Mandiri.
Dikatakan Zulfikar Thaib, Kasubid Pembinaan Lingkungan dan Penegakan Hukum yang juga PPTK Pendidikan Lingkungan Hidup Sekolah/Adiwiyata, setiap tahunnya, jumlah sekolah yang berupaya mendapatkan Adiwiyata ini terus bertambah. Walaupun ada yang masih dalam tahap mencoba, namun, pihaknya mengapresiasi setiap upaya untuk membangun sekolah berwawasan lingkungan ini.
‘’Ini memang bukan tugas mudah, karena, tidak bisa dibuat-buat dan tidak bisa instan. Ada beberapa aspek yang tetap harus dilaksanakan dan itu berkaitan dengan persyaratan untuk bisa meraih Adiwiyata tersebut,’’ungkap Zulfikar.
Bila awalnya memang lebih banyak sekolah-sekolah dari Kota Pekanbaru, kini sudah merambah hingga ke kabupaten dan kota. ‘’Kita menganggap ini sebagai sebuah perjalanan yang bagus untuk membangun kesadaran bersama bahwa kebersihan lingkungan sekolah itu penting,’’ jelas dia.
Adiwiyata pada dasarnya adalah salah satu program yang diupayakan oleh pemerintah untuk mempercepat pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang dikelola oleh kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan.
Program ini pertama sekali dicetuskan pada 21 Februari 2006 dengan tujuan membentuk sekolah peduli dan berbudaya lingkungan yang mampu berpatisipasi dan melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. ‘’Jadi tak hanya difokuskan pada kalanan guru, namun yang utama adalah juga perilaku murid dalam memahami fungsi lingkungan,sesuai UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan ‘’ sebut Zulfikar.
Sasaran yang ingin dituju, dijelaskan dia, adalah sekolah-sekolah. Bukan merupakan sebuah keterpaksaan, namun merupakan kemauan mereka sendiri dalam meningkatkan peran dan prilaku dalam memandang persoalan lingkungan. ‘’Adi wiyata ini adalah sebuah kegiatan yang volunteri, bukan dipaksakan, namun berasal dari kesadaran,’’imbuhnya.
Secara umum, berawal dari hanya 77 sekolah dari 11.778 SMA serta 18 SMK dari 9.164 SMK, 95 SD dari 178.435 SD/MI serta 82 SMP dari 50.760 SMP se Indonesia, pemerintah menargetkan bisa melibatkan lebih banyak lagi sekolah.
Dunia pendidikan, menurut Zulfikar penting, untuk menanamkan nilai-nilai dasar masyarakat berwawasan lingkungan. Karena itulah, pertambahan sekolah setiap tahunnya itu berarti sebuah langkah positif.
‘’Sekolah tak perlu malu atau ragu untuk terlibat dalam program Adiwiyata ini. Kalau tak memahami, kami siap untuk memberi masukan, termasuk Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang ada di kabupaten dan kota masing-masing,’’ jelasnya.
Proses awal, dijelaskan Zulfikar, bisa dimulai dengan membuat visi dan misi dan tujuan sekolah yang dituangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), rancangan pembelajaran yang lengkap, keterlibatan orang tua, lingkungan dalam program, komunikasi untuk hasil inovasi, pemecahan masalah juga pembiayaan.
Disamping itu, tentunya ada beberapa aspek yang akan dinilai dari masing-masing sekolah, seperti wawasan terkait permasalahan lingkungan secara global maupun lokal. ‘’Misalnya seputar masalah pemanasan global, banjir, mereka harus bisa menjelaskannya bukan saja oleh guru, namun juga oleh murid,’’ungkapnya.
Sekolah juga harus mampu menjabarkan pelaksanaan dari penerapan teknologi ramah lingkungan sehingga dia menjadi efektif. Misalnya, sekolah-sekolah mulai mngaplikasikan program seperti pengolahan sampah menjadi kompos dan sarana aplikatif lainnya.
Diakui Zulfikar, permasalahan pembiayaan tak jarang membuat upaya meraih Adiwiyata menjadi sulit. Namun, dijelaskannya, hal tersebut harus di komunikasikan sebagai bagian dari komponen penilaian.
‘’Makin besar biaya yang dialokasikan untuk program lingkungan, semakin besar bobot penilaian yang bisa didapatkan. Karena itulah, harus ada sinergi.
Namun begitu, Zulfikar menjelaskan, proses mengikuti Adiwiyata itu sebenarnya dimulai dari minat yang ditunjukkan oleh sekolah untuk program ini. Biasanya, BLH di kabupaten dan kota akan memberi arahan kepada sekolah-sekolah terdahulu untuk melakukan pembinaan.
Dari sana, akan ada muncul sekolah-sekolah yang menyatakan minat dan biasanya, BLH setempat sudah menyiapkan perangkat untuk persyaratan-persyaratan yang harus disiapkan untuk bisa berkompetisi.
Disamping itu, persoalan yang juga kadang tidak disiapkan oleh sekolah diantaranya adalah sistem administrasi dan pengelolaan data dan informasi tentang program yang dilaksanakan yang kadang kala tidak terarsip secara baik, tidak terdokumentasi, sehingga, sulit untuk membuktikannya. ‘’Karena itulah, setiap memberikan masukan, biasanya, akan terus digenjot supaya kekurangan-kekurangan tersebut bisa dilengkapi,’’ ungkapnya.
Terbiasa Bersih
Banyak yang beranggapan, program sekolah berwawasan lingkungan merupakan aplikasi semu yang secara riil sulit untuk diterapkan sebagai bagian dari pola perilaku siswa, khususnya di luar jam sekolah. Kondisi ini juga diakui Zulfikar ikut menjadi persoalan.
Namun begitu, tidak bagi dua Ela dan Ii, keduanya siswa di SDN 83 Pekanbaru. Keduanya mengaku kalau program sekolah berwawasan lingkungan yang mereka jalani sehari-hari di sekolah malah membawa perubahan terhadap perilakunya.
Sebut saja, misalnya, Ela biasanya jarang sekali mau membersihkan rumah, menyapu. Namun, setelah mengikuti banyak hal terkait upaya menciptakan lingkungan yang bersih di sekolah, dia malah terbiasa untuk mengerjakan hal-hal tersebut di rumah.
Ela juga dengan tangkas menjelaskan tentang pemahamannya seputar sampah-sampah berdasarkan jenis dan sistem pembuangannya sesuai dengan prosedur lingkungan yang aman dan sehat, termasuk diantaranya dalam memilah-milih makanan yang pas untuk dikonsumsi juga sehat.
Begitupun Livida atau Ii, yang biasanya banyak tak memahami persoalan kebersihan lingkungan. Namun, kini setiap hari malah rajin membersihkan rumah, bahkan menjadi duta bagi keluarganya untuk memberi pemahaman tentang kebersihan.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province