Senin, 08 Oktober 2012

Suaka Elang-Chevron Lepas Liarkan Elang Brontok Duduy Berumah di Hutan Peraih Kalpataru

 Begitu tali penutup kandang buatan diputus Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kemenhut,Bambang Supriyanto, Duduy tak hendak pergi. Sembari mengepak-ngepakkan sayapnya yang coklat keputihan bermotif batik, dia seolah mencari celah yang cukup luas untuk melintas. Begitu menemukannya, dia pun terbang dan menghilang dibalik rerimbunan pohon.

Laporan BUDDY SYAFWAN, Buluhcina buddy_syafwan@riaupos.co

Itu sekelumit suasana saat pelepasliaran Duduy, elang brontok (Changeable hawk-eagle) asal Sumatera yang diinisiasi Suaka Elang bekerja sama dengan PT Chevron Pacific Indonesia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) di Hutan Adat Buluhcina, Sabtu (14/7).
Acara ini tak sekedar seremoni pelepasan satwa ke alam liar semata, namun juga membawa pesan khusus mempertahankan konservasi hutan di wilayah Riau yang dari waktu ke waktu terus terdegradasi.
Elang yang bentuk warna dan motif bulunya bisa berubah-ubah itu tak hanya menjadi representasi dikembalikannya satu jenis burung pemangsa yang sempat selama beberapa tahun berada di balik kandang pemeliharaan ke habitatnya, namun juga perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem. Itu karena, elang menjadi penguasa puncak rantai makanan di alam liar yang hanya bisa bertahan hidup bila ekosistemnya tetap terjaga.
Cukup panjang upaya yang dilakukan oleh kelompok Suaka Elang untuk bisa memindahkannya dari kawasan konservasi elang yang ada di Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Selain memastikan ketersediaan kawasan yang memadai untuk tempat tinggalnya, juga perlu pemantauan terhadap ketersediaan pasokan makanan serta kemudahan untuk proses adaptasi.
‘’Kami sempat melakukan survei di beberapa provinsi di Sumatera sebelum akhirnya menetapkan Riau. Ketika memutuskan di Riau, juga perlu survei lagi untuk memastikan kawasan, makanan dan kemungkinan konflik sesama elang di daerah yang baru,’’ sebut Gunawan, pengelola Suaka Elang.
Semula sempat diprogram Duduy akan ditempatkan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim II di Minas, namun di lokasi ini, ternyata ditemukan lokasi kembang biak elang sejenis yang dikhawatirkan akan menjadi pesaing sesama raptor. Selanjutnya, juga dilakukan survei di kawasan Hutan Lindung Chevron di Rumbai. Setelah diteliti, di kawasan hutan seluas sekitar 400 hektare ini bahkan ditemukan sarang elang brontok. Akhirnya pilihan jatuh ke Hutan Adat Buluh Cina di Kabupaten Kampar.
Selain luasannya yang cukup besar, mencapai 1.000 hektare, di kawasan hutan ini tersedia sumber makanan alami elang seperti burung-burung kecil, tupai, ular, monyet serta beberapa lainnya. Dan yang terpenting, tidak ada elang sejenis yang memungkinkan terjadinya konflik sesama satwa pemangsa.
Elang brontok memang mempunyai karakteristik yang unik yang menyebabkannya tidak mudah untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Walau Duduy diperkirakan adalah elang jantan dewasa dengan usia berkisar diatas 5 tahun, namun, bukan hal mudah pula baginya untuk bisa menghadapi perbedaan lingkungan, apalagi bila di lokasi yang sama terdapat elang sejenis.
‘’Kita pernah punya pengalaman melepas elang sejenis dari kandang yang sama. Ketika di lepas, ternyata mereka saling memangsa. Pertimbangannya sederhana, karena, sulit menemukan jenis kelamin elang jantan dan betina, kecuali mereka ditemukan hidup di alam liar bersama. Biasa, ukuran elang brontok betina lebih besar dibandingkan jantannya,’’ ulas Gunawan yang mengaku sudah semenjak Februari lalu berada di Riau untuk memastikan tempat hidup baru bagi Duduy.
Duduy sendiri mempunyai jalan hidup yang panjang. Sebelum selama dua tahun terakhir berada di bawah pengawasan Konservasi Elang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dia juga sempat beberapa lama dipelihara oleh pecinta satwa setelah dibeli dari pasar yang memperdagangkan satwa liar di Sumatera. ‘’Detail daerahnya kita tak tahu, karena kita menerima dari pemilik yang menyadari dan memberikan elang ini kepada Konservasi Elang di Jawa Barat,’’ tutur Gunawan didampingi sejumlah aktivis pecinta dan peneliti elang termasuk Raptor Indonesia.
Heri Tarmizi, dari Raptor Indonesia menyebutkan, ada beberapa hal strategis yang bisa diambil dari pelepasliaran elang di Riau Buluh Cina ini. Selain menginisiasi mempertahankan kelestarian kawasan hutan, Riau juga menjadi areal perlintasan puluhan ekor elang dari beberapa negara yang melakukan migrasi.
Sebenarnya, menurut dia, ada dua daerah yang menjadi pintu masuk elang-elang dunia dari berbagai jenis dan ukuran tersebut. Satu berada di Sangihe Talaud serta Rupat Kabupaten Bangkalis. Kehadiran satwa yang rutin selama beberapa bulan dalam satu tahun tersebut bukan saja menggambarkan elang tersebut mempunyai habitat hidup di beberapa kawasan di wilayah Riau, namun juga menjadi penentu keseimbangan ekosistem.
Heri mencontohkan ketika kebakaran hutan dan lahan tahun 1997, elang-elang siberia itu tak bisa melintas di sepanjang pesisir sumatera, termasuk Pulau Rupat. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap panen hasil pertanian di Lampung.
‘’Elang-elang tersebut, memakan serangga yang merusak tanaman petanian. Ketika tidak bisa melintas, maka, di Lampung terjadi gagal panen karena serangan hama belalang,’’ ungkap lelaki yang mengaku sudah beberapa tahun terakhir mengamati perilaku elang migran di pesisir Pulau Rupat itu.
‘’Kalau jumlahnya, banyak sekali, bisa ribuan, bahkan puluhan ribu. Hanya saja, terkadang datangnya berkelompok sesuai dengan jenisnya. Untuk tahun ini diperkirakan September-Oktober elang siberia ini masuk kembali ke Rupat,’’ ungkap dia.
Di beberapa negara tetangga, tradisi elang migran ini bahkan dimeriahkan dengan beberapa kegiatan termasuk agenda pariwisata dan penelitian. Seperti halnya di Chung Pon, tepatnya di Radar Hill, biasa digunakan oleh peneliti raptor dunia untuk mengamati pergerakan elang. Sementara di Negeri Sembilan Malaysia, tepatnya di Tanjung Tuan, dijadikan agenda pariwisata yang mendatangkan banyak turis mancanegara.
Didukung Warga
Upaya mengkonservasi elang di Hutan Adat Buluhcina ini ternyata mendapat dukungan cukup luas dari masyarakat setempat. Hal tersebut setidaknya disampaikan berkali-kali oleh Kepala Desa Buluhcina, Feri Rinaldi serta tokoh masyarakat setempat, Umar. ‘’Pastinya kami senang sekali, elang ini ditempatkan di sini. Kalau bisa jangan untuk kali ini saja, karena bagi kami ini berarti untuk anak cucu ke depan,’’ sebut Umar disela-sela pelepasan.
Lelaki paruh baya ini pun menjelaskan betapa ini menjadi jawaban atas beberapa persoalan yang menganggap warga Buluhcina tidak mempertahankan kelestarian hutan.
‘’Kami ingin menjelaskan, ini hutan adat yang kami pelihara semenjak nenek moyang dahulu. Ini bukan hutan lindung yang ditetapkan oleh negara. Tanpa Kalpataru juga tetap terpelihara. Karenanya, kami suka, bukan cuma elang, bahkan bila satwa lain ditempatkan di hutan kami. Inilah peninggalan kami kelak,’’ gugah Umar.
Hutan Adat Buluhcina yang menjadi habitat baru Duduy, adalah kawasan hutan dengan tutupan yang masih terjaga. Dengan luasannya yang mencapai 1.000 hektare, hutan ini pernah dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai penerima Kalpataru. Namun, beberapa tahun kemudian ditarik kembali. Umar sendiri enggan menjelaskan detail persoalan tersebut.
Saat Riau Pos berkunjung ke kawasan hutan ini, eksotisme kawasan hutan dengan jenis kayu khas Riau masih tetap terjaga. Karena itulah, Kades Buluhcina optimis pelepasliaran elang brontok ini akan berhasil. ‘’Kita akan lindungi dan jaga elangnya, sama dengan hutan ini,’’ komit Feri.
Untuk memastikan kondisi Duduy di ‘’Negeri Enam Tanjung’’ ini, Suaka Elang dan para pihak juga sudah menyiapkan tim khusus untuk melakukan monitoring. Tim ini akan memastikan kondisinya sampai benar-benar bisa bertahan hidup bahkan berkembang biak.
‘’Kita berharap, di tempat ini elang brontok ini bisa bertahan dan berkembang biak,’’sebut Kabid Teknis Balai besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Syahimin saat pelepasan satwa ini.
Dia juga berharap momen ini bisa jadi salah satu upaya penyadaran publik untuk mempertahankan ekosistem hutan termasuk menghentikan aktivitas jual beli satwa liar dilindungi.
Selaku inisiator, PT Chevron Pacific Indonesia, sebagaimana diungkapkan Imamul Ashuri, Manager PGPA yang juga koordinator pelepasliaran menyebutkan, perusahaan memang punya komitmen untuk pelestarian. Chevron sendiri, dijelaskan dia, mempunyai hutan seluas berkisar 400 hektare yang kondisinya tetap diawasi, termasuk flora dan faunanya.
Tak hanya berkomitmen dalam menjaga habitat elang brontok, perusahaan juga komit untuk melindungi satwa lainnya seperti gajah, harimau, beruk, babi dan jenis lainnya. ‘’Terus terang, karena kita yang tinggal di hutan, makanya kita yang beradaptasi dengan lingkungan. Satwa-satwa itu adalah pemilik habitat itu, dan kita yang harus menyesuaikan dengan kehidupan mereka,’’ungkap Imam.
Khusus elang, diakui dia, karena garuda adalah lambang negara, juga simbol puncak kesempurnaan ekosistem, dia berharap bisa berbuat lebih baik lagi untuk upaya konservasinya.
Bambang Supriyanto, secara terpisah berharap pemanfaatan Hutan Adat Buluh Cina sebagai konservasi elang juga bisa ditindaklanjuti dengan pengembangan potensi lainnya seperti edukasi satwa, khususnya elang maupun ekowisata sehingga bisa memberikan manfaat lebih bagi masyarakat sekitar, sesuai dengan prinsip pembangunan berwawasan Green Economic. ***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province