Slide tersebut menceritakan tentang seorang bapak yang hidup di tahun 2070. Umurnya masih 50 tahun tapi kelihatan seperti orang tua yang berumur 85 tahun. Beliau menceritakan tentang kehidupannya di masa lampau. Kehidupan yang penuh dengan kemakmuran alam dan banyaknya sumber mata air. Keteduhan pohon-pohon nan hijau, Semuanya berbalik dengan keadaan sekarang yang kering kerontang. Air yang dulunya bisa dibuang-buang sekarang untuk mendapatkannya saja memerlukan waktu yang cukup rumit dan sulit. Begitukah kehidupan dimasa mendatang?
Sudah banyak tanda-tanda kehidupan kerontang yang dapat dirasakan di kota bertuah ini. Salah satu yang menjadi primadona Negeri Lancang Kuning ini ialah kabut asap yang setiap tahun melanda Provinsi Riau. Bahkan yang lebih hebatnya lagi kabut tersebut dapat di ekspor ke provinsi lain dan negeri tetangga. Bumi yang terkenal dengan khasanah Melayu ini hilang marwahnya dengan pemberitaan kabut asap yang setiap tahun pasti menjadi headline news disetiap media informasi.
Patutkah kita malu? Siapa yang patut disalahkan? Apa tindakkan kongkret yang harus kita lakukan? Beginilah wajah Riau, bukan untuk menjatuhkan tapi, untuk memberikan kenyataan sebenarnya pada masyarakat yang terkena imbasnya.
Kabut asap dan banjir tahunan seakan menjadi masalah rutinitas pemerintah saat ini. Jika masalah tersebut tetap dibiarkan menjadi basi sampai bertahun-tahun, alhasil cerita yang dipaparkan diawal paragrap pun dapat dipastikan terjadi.
“Ayah, mengapa tidak ada air ?” Sebuah slide yang membuat saya tertegun. Bagaimana saya di umur 70 tahun mendatang. Apakah cucu atau bahkan cicit saya akan menanyakan hal senada dengan judul diatas? Apakah cicit saya akan menanyakan bagaimana rasa dan bentuk air terjun, air sejuk itu? Semoga saja tidak.
Tapi saya sedikit lega dengan adanya cagar biosfer yang diusung oleh perusahaan terkemuka di Provinsi Riau (Sinar Mas Forestry). Yah, setidaknya Provinsi Riau masih dapat bernapas dengan oksigen yang bersih dari kawasan nan hijau dari Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu. Cagar biosfer yang memiliki luas 178.000 hektare ini akan menjadi ladang paru-paru bagi masyarakat Provinsi Riau.
Tapi jika dibandingkan dengan pulau tetangga sana, Jawa, cagar biosfer ataupun taman nasionalnya didukung oleh masyarakatnya yang peduli dengan lingkunyannya. Terbukti dengan banyaknya hutan sekolah ataupun taman sekolah yang diset menjadi taman asri. Sungguh indah memang.
Tapi usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah kita, khususnya Pemerintahan Kota Pekanbaru dan segenap masyarakatnya adalah dengan menjaga ketertiban, keamanan dan keindahan kota. Hal itu terbukti dengan Kota Bertuah Pekanbaru yang lima kali berturut-turut mempertahankan Piala Adipura atas penghargaan kota terbesar terbersih se Indonesia. Ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat di Provinsi Riau khususnya Kota Pekanbaru berusaha bangkit dan sadar betul pentingnya kebersihan, keamanan dan keindahan kotanya.
Semoga saja kabut asap, banjir tahunan dan illegal logging yang menjadi permasalahan primadona di provinsi riau dapat diatasi dan dapat dicarikan solusi yang tepat. Semoga saja Provinsi Riau, khususnya Kota Pekanbaru untuk 70 atau 100 tahun ke depan tidak menjadi sebuah kota kerontang yang kehilangan negerinya, kehilangan hutannya.
Dan aku bukanlah seonggok kaktus yang tengah berada di gurun sahara yang mampu menahan kehausan karena kehilangan sumber mata airnya. Dan aku tidak ingin anak cucu ku berucap sama. “Ayah bunda, mengapa sekarang tidak ada air ?” (Mimi-GSJ/SUMIARTY/ SMKN 1 PEKANBARU)
0 komentar:
Posting Komentar