Di ruang redaksi itu, saya dan teman-teman, melihat tayangan tentang seputar lingkungan hidup manusia yang telah rusak. Ada yang terbakar. Lebih parahnya, kekeringan telah melanda daerah itu. Sampai-sampai, mereka kekurangan air, bahkan untuk minum saja sulit.
Saya pun baru menyadari akibat dari perusakan lingkungan itu, begitu hebat dan menakutkan. Apalagi yang sedang dihadapai oleh seluruh umat di dunia ini, yaitu global warming. Dari tayangan slide yang saya lihat, global warming mengakibatkan perubahan suhu yang sangat drastis di planet bumi ini. Es di kutub utara terlihat mencair dalam hitungan detik.
Rasanya kata ”Stop Global Warming’’ yang sering terngiang di telinga saya itu pun masih tak bisa diandalkan tanpa kesadaran dari umat manusia itu sendiri. Mungkin tak hanya saya, teman-teman saya pun berpikir itu sangat mengerikan.
Kembali terlihat pada tayangan slide yang ditayangkan lewat infocus itu, asap-asap pabrik tampak mengepul seenaknya di udara, tak terkecuali asap-asap kendaraan bermotor juga. Sampah-sampah juga tampak tergeletak kumuh di tepi sungai maupun kali. Diperlihatkan pula pada kami hutan-hutan yang terbakar, dan lagi-lagi menghasilkan asap dan ujung-ujungnya juga kembali pada ”global warming’’.
“Sebenarnya siapa yang harusnya disalahkan atas semua ini? Mungkinkah itu salah mereka yang memulai semua ini?! Atau salah semua umat manusia?” saya membatin ketika menatap resah tayangan berikutnya, dan berikutnya.
Saya pikir, saya tak perlu mencari tahu siapa yang patut disalahkan, hanya saja saya perlu mencari sesuatu yang bisa mengubahnya kembali utuh.
Sekitar pukul 11.00 WIB kami pun keluar dari dalam ruang redaksi, sambil menunggu bus, kami pun narsis-narsisan di lantai bawah. Sambil memegang spanduk yang bertuliskan “Your Planet Needs You” dengan tulisan yang paling besar, juga terdapat pada punggung baju yang kami pakai.
Sekarang kami sudah berada di atas bus hijau besar dan akan segera menuju ke suatu tempat dimana sampah-sampah plastik bisa diolah menjadi souvenir-souvenir menarik. Bus itu pun melaju di sepanjang Jalan Arifin Achmad, lalu berbelok menuju Jalan Jendral Sudirman, dan melaju pula melewati jalan Patimura dan berbelok ke Jalan Hang Tuah.
Ketika melintasi sebuah jembatan, yang berada diatas Sungai Sail, mata saya seolah terbelalak melihat tumpukan sampah yang berserakan di tepinya. Airnya pun berwarna kecokelatan. Tak seperti air mineral yang sedang saya pegang. Itu pasti sangat bau.
Saya pun sudah tak sadar lagi bahwa bus yang kami tumpangi sudah sampai di tempat tujuan. Tepatnya di ”Dalang Collection”. Di sana saya bisa melihat banyak souvenir menarik seperti tas, payung, sandal, celemek dan lain-lain. Yang uniknya, semua barang itu dibuat dari sampah pklastik.
“Saya ingin, sampah tidak lagi menjadi musuh kita semua!”ucap Bu Soffia Seffen, pemilik Dalang Collection.
Bu Soffi bercerita banyak pada kami. Saat itu ketika dia meminta bantuan kepada salah satu perusahaan yang cukup mempengaruhi ”peredaran sampah plastik’’, perusahaan tersebut setuju, tapi dengan satu syarat. Bu Soffia hanya boleh mengolah sampah dari perusahaan mereka saja. Namun Bu Soffi tidak setuju dengan kesepakatan itu. Akhirnya sampai sekarang pun Bu Soffi masih belum pernah mendapatkan bantuan.
Semoga saja niat tulus Bu Soffi dapat berjalan lancar, dengan mempekerjakan tiga puluh orang. “Namun saya cukup kecewa, karena tanggapan masyarakat terhadap sampah masih tergolong kurang…,” keluh Bu Soffi pada kami.
Meski begitu, Bu Soffi masih tetap yakin dengan usaha yang telah dirintisnya sejak akhir 2006 lalu. Selain menjaga kelestarian lingkungan, itu juga dapat mengurangi persentase pengangguran bukan? Yah, istilahnya, “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
Setelah banyak berbincang dengan Bu Soffi, seluruh anak SJ dan CCMD pun pamit pulang pada Bu Soffi. Semoga tak hanya Bu Soffi seorang yang memiliki niat mulia itu, tetapi, seluruh umat manusia. Itu semua demi ‘bumi’ kita. Save The Earth! (Zakiah Ulya)
0 komentar:
Posting Komentar