Rabu, 20 Januari 2010

Booming Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Perkebunan

Ketika Petani hanya Bisa Memandang’’

MENTARI sudah sepenggalah, waktu sudah dekat ke pukul 10:00 WIB pagi. Di tengah-tengah hamparan padi di salah satu desa di Kabupaten Siak, seorang petani tampak duduk termenung. Sekali-kali ia mengibaskan topi pandannya ke badan, sekedar menghilangkan gerah di tubuh. Sudah puluhan tahun ia menjadi seorang petani, dari sawahnya sudah tak terhitung lagi Gabah Kering Giling (GKG) dihasilkannya. Namun perjalanan waktu telah membuat dirinya letih. Letih dengan segala hal, letih dengan waktu yang terus berputar.

AMIN (50) nama petani itu. Sepanjang hari, waktu terus dihabiskannya di sawah yang ia miliki sejak turun temurun. Memang pada suatu ketika dulu, sawahnya menjadi penopang hidup sekeluarga. Bisalah dikatakan pada ketika itu, ia seorang juragan padi dan beras. Namun seiring perputaran waktu semuanya hanya tinggal kenangan, banyak petani yang sudah mengalihkan fungsi lahan pertaniannya menjadi lahan perkebunan.

Hanya dirinya dan beberapa petani lainnya yang masih setia menjadi petani padi. Memang sempat juga dirinya berfikir untuk beralih dari petani menjadi pekebun, khususnya sawit. Namun, sampai saat ini niat itu belum terealisasi. Padahal diakuinya menjadi petani perkebunan lebih menjanjikan jika dibandingkan tetap menggarap sawah, hanya mengandalkan panen setahun sekali.

‘’Sempat saya berfikir untuk berpindah profesi dari petani pertanian ke petani perkebunan. Namun sampai saat ini belum bisa direalisasikan, entah kenapa. Mungkin suatu saat nanti, saya akan menjadi pekebun, sudah lelah menjadi petani. Hanya seperti ini saja hidup saya, sementara petani-petani perkebunan sudah berubah sama sekali, kehidupan mereka sudah mapan malahan sudah bisa membeli atau setidaknya kredit kendaraan roda empat,’’ tuturnya saat ditemui Riau Pos beberapa waktu lalu.

Amin memang masih menjadi pertanian tradisional. Untuk mengolah sawahnya ia dibantu oleh dua ekor sapi untuk membajak sawahnya. Musim tanam, hanya dilakukannya setahun sekali, padahal jika dilakukan dengan sentuhan teknologi tentu saja musim tanamnya bisa ditingkatkan menjadi setahun dua kali. Tentunya hal ini sedikit banyak akan membantu kehidupan ekonomi masyarakat tani pertanian. Namun setakat ini, pola tanam tradisional walaupun sudah menetap masih saja dilakukan banyak petani pertanian di Riau.

‘’Tampaknya menjadi petani perkebunan lebih menjanjikan. Capeknya hanya sebentar saja. Hasilnya pun sangat menggiurkan. Tidak perlu berulang kali menanam. Cukup sekali tanam, panen bisa dilakukan sepanjang waktu. Setelah ditanam, pekerjaan lainnya hanya membersihkan rumput-rumput liar, pekerjaan ini tentu sangat ringan sekali. Berbeda jika menjadi petani pertanian,’’ tuturnya lagi.

Di Riau, booming alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan menjadi tren di kalangan petani. Hal ini tentunya tidak bisa dipungkiri, karena menjadi petani perkebunan, khususnya kelapa sawit sangat menjanjikan sekali. Setiap saat harga Tandan Buah Segar (TBS) terus naik, kondisi ini tentunya sangat menguntungkan petani, karena pundi-pundi rupiah yang mereka miliki dengan sendirinya akan bertambah.

Persoalan tidak hanya sampai di situ. Mahalnya harga pupuk dan serangan hama penyakit terhadap sawah petani juga menjadi pemicu semakin sengsaranya masyarakat tani. Padahal pada suatu ketika dulu, pertanian menjadi sektor unggulan, tidak hanya di Riau akan tetapi juga diberbagai daerah lainnya di Indonesia.

Kepala Dinas Pertanian (Kadistan) Riau Ir Basriman mengungkapkan, total luas sawah baku di Riau saat ini mencapai 123 ribu hektar. Namun, karena adanya musim tanam dua kali maka total luasnya mencapai 149 ribu hektar lebih. ‘’Untuk alih fungsi sendiri, kami belum memiliki data yang pasti, akan tetapi dalam perkiraan kami hanya sekitar 0,93 persen saja. Tapi sekali lagi itu belum data konkrit, baru data perkiraan saja,’’ ujarnya.

Diakuinya, produksi tanaman padi di Riau memang belum bisa mencukupi kebutuhan kuota beras di daerah ini. Riau pada tahun 2009 lalu produksi berasnya baru mencapai 526 Gabah Kering Panen (GKP), jika dibandingkan tahun 2008 lalu memang terjadi peningkatan, di mana pada 2008 lalu hanya 494 ribu GKP atau terjadi peningkatan sekitar 6,44 persen. ‘’Namun sekali lagi, data ini baru data asumsi, belum data konkrit, karena kami belum melakukan penghitungan secara pasti,’’ tuturnya lagi.

Ditambahkannya, guna memenuhi kekurangan stok beras di daerah ini pihaknya memasoknya dari luar Pekanbaru. Tahun 2006 pasokan dari luar mencapai 50 persen, sementara dari tahun ke tahun pasokan dari luar daerah tersebut terus mengalami penurunan. ‘’Karenanya, melalui program Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) kita berharap pasokan beras dari luar Riau tersebut bisa ditekan semaksimal mungkin, sehingga kehidupan petani Riau bisa ditingkatkan,’’ tuturnya.


Subsidi Petani

Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan yang dilakukan para petani sebenarnya bisa dimaklumi, selain karena kondisi lebih menguntungkan juga dikarenakan kondisi lahan yang ada di Riau ini memang tidak cocok untuk lahan pertanian. Lahan-lahan yang ada memiliki karakter tanah PMK, dengan kondisi tanah itu sangat tidak cocok sekali untuk lahan pertanian.

‘’Iya, di Riau ini lahannya memang PMK, sangat tidak cocok sekali dengan untuk lahan pertanian, sebaliknya dengan kondisi lahan yang demikian cocok untuk tanaman perkebunan. Karenanya, terjadinya alih fungsi lahan itu tidak bisa dicegah. Jika memang ingin mencegahnya, pemerintah harus turun tangan setidaknya dengan melakukan subsidi kepada petani,’’ ujar pakar pertanian Riau Prof Dr Ir H Hasan Basri Jumin kepada Riau Pos baru-baru ini.

Artinya, tambah Hasan subsidi yang dilakukan pemerintah itu adalah dengan membeli hasil produksi pertanian tanaman pangan itu dengan harga mahal dari petani dan kemudian dijual dengan harga murah. Jika kondisi itu tidak dilakukan, jangan diharap petani akan tetap betah dan terus memelihara lahan pertaniannya.

Bayangkanlah, apa yang didapat oleh petani selama ini rasanya sangat sedikit sekali. Mereka bekerja dengan keras, sementara hasil gabah mereka dijual murah di pasaran. Di sisi lain, hasil produksi tanaman perkebunan terus mengalami peningkatan harga jualnya meskipun pemerintah tidak ikut campur dalam hal pemasarannya.

Jadi, lanjutnya lagi terjadinya alih fungsi lahan itu karena secara ekonomi masyarakat memandangnya lebih menguntungkan jika hanya terus mengandalkan jadi petani pertanian. Selain kondisi tanah yang tidak memungkinkan untuk lahan pertanian, juga dikarenakan kondisi lahan di Riau yang memang tidak cocok untuk tanaman pertanian. ‘’Jika memang ada lahan yang cocok jumlahnya tidak terlalu banyak, ini harus dipertahankan. Caranya petani harus diberi subsidi oleh pemerintah, sehingga kehidupan petani pertanian dan keluarganya bisa terus mapan,’’ ujarnya.

Dirinya, lanjut Hasan berkeyakinan, jika pemerintah turut campur tangan dalam hal pemasaran hasil pertanian petani, maka alih fungsi lahan khususnya di lahan-lahan yang memang cocok untuk pertanian tidak akan dilakukan petani. ‘’Semuanya soal kehidupan dan ini tidak bisa kita pungkiri. Siapa saja ingin hidup di dunia ini dengan lebih baik, begitu juga petani,’’ tuturnya.


Dilarang

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melarang alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan dan seba­gainya. Kebijakan ini dibuat untuk mempertahankan kelangsungan produksi pertanian di Indonesia, terlebih lagi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan sudah tidak terkendali.

Melalui Undang-undang (UU) 41 tahun 2009, pemerintah telah mengeluarkan aturan, setiap pelaku baik petani, pejabat maupun badan usaha melakukan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

‘’UU ini memang baru dikeluarkan pemerintah, di Riau sendiri alih fungsi lahan itu sudah sangat banyak dan agak sulit dikenda­likan, diharapkan dengan adanya UU ini laju alih fungsi lahan bisa ditekan semaksimal mungkin,’’ kata Sekretaris Badan Koordinasi Penyuluhan Riau H Sudirno kepada Riau Pos beberapa waktu lalu.

Sudirno mengatakan, meskipun dirinya tidak memiliki data berapa luas lahan pertanian produktif di Riau sudah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan, namun dalam hematnya jumlahnya sudah sangat banyak sekali. Laju alih fungsi ini harus segera dihentikan, jika tidak ancaman rawan pangan tidak saja di Riau akan tetapi juga di Indonesia bakal terjadi.

Dalam UU tersebut dikatakan, bagi perorangan yang melakukan tindakan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp1 juta. Jika pelakunya adalah pejabat yang memberikan, maka sanksi pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp1 miliar dan pelakunya adalah badan usaha maka sanksi pidananya juga semakin besar yakni paling singkat dua tahun dan denda paling rendah Rp2 miliar.

Pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota diberi tenggat waktu dua tahun untuk menetapkan lahan pertanian berkelanjutan. ‘’Artinya, masing-masing daerah diberi tenggak waktu dua tahun untuk membuat perda kawasan lahan pertanian berkelanjutan. Lahan inilah nantinya jika dialih fungsikan pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang ada,’’ tuturnya.

Dia menambahkan, jual beli lahan pertanian tetap dibolehkan, akan tetapi pembelinya tidak diperkenankan untuk melakukan alih fungsi lahan tersebut. ‘’Kita berharap dengan adanya UU ini alih fungsi lahan, khususnya di Riau bisa ditekan semaksimal mungkin sehingga ancaman rawan pangan di daerah ini bisa dihindari,’’ ujarnya lagi.


Peran Penyuluh

Di sinilah peran para penyuluh. Sayangnya, setakat ini peran dari penyuluh itu sangat minim sekali. Terlebih para penyuluh pertanian itu sudah banyak ditarik menjadi tenaga teknis diberbagai instansi pemerintahan. Ini terjadi sejak banyaknya pembentukan kabupaten/kota baru di Riau. Sampai saat ini baru tujuh kabupaten/kota yang memiliki Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) masing-masing Pekanbaru, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Bengkalis.

Dia menambahkan, keberadaan Bakorluh ini sangat diperlukan sekali, karena akan bisa memberikan pendampingan kepada petani pertanian sehingga upaya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan bisa ditekan semaksimal mungkin. Banyaknya terjadi alih fungsi lahan saat ini karena minimnya penyuluh yang memberikan pemahaman kepada petani arti pentingnya lahan perta­nian.

Saat ini terjadi degradasi lahan pertanian, masyarakat tani sekarang lebih tergiur mengalih fungsikan lahan pertaniannya menjadi perkebunan, jika ini terus dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif dan Riau akan terus tergantung bahan pangan dari provinsi tetangga.

‘’Di sinilah peran penyuluh sangat diperlukan, mereka akan bisa memberikan pemahaman dan pengertian kepada petani agar tidak mudah melakukan alih fungsi lahan pertaniannya,’’ ujarnya.

Sekarang, lanjutnya lagi penyuluh pertanian tidak diperhatikan. Mengapa? Karena dianggap penyuluh ini tidak memberikan sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kepada masing-masing kabupaten/kota, padahal beberapa waktu lalu keberadaan penyuluh ini sangat diper­lukan dan terbukti Indonesia bisa swasembada beras.

Dalam pada itu anggota komisi penyuluhan Riau Raja Isyam Azwar menuturkan, sudah saatnya daerah-daerah di Riau memperhatikan para penyuluh, baik itu penyuluh pertanian, perikanan, kehutanan dan sebagainya. Dari merekalah, akan bisa membantu para petani khususnya dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidupnya.

‘’Masyarakat miskin yang ada di daerah ini mayoritas adalah mereka yang berkecimpung di bidang pertanian, mereka banyak yang tidak paham bagaimana meningkatkan produksi pertaniannya dan masih banyak diantara mereka yang masih petani tradisional. Artinya, masa tanam hanya dilakukan sekali dalam setahun dan sebagainya,’’ ujarnya.

Padahal, dengan teknologi yang ada, masa tanam itu bisa diting­katkan apakah menjadi dua atau tiga kali setahun. ‘’Di sinilah peran penyuluh itu, sayangnya setakat ini mereka tidak diperhati­kan, malah dibeberapa kabupaten/kota penyuluh ini,’’ katanya.

Akankah alih fungsi lahan pertanian itu bakal terus terjadi. Persoalan hidup memang tidak bisa dianggap mudah, perbaikan hidup harus terus dilakukan oleh siapapun. Namun haruskah memaksakan lahan-lahan pertanian produktif disulap menjadi lahan perkebunan? Sampai kapan kita harus terus bergantung pasokan beras dan sebagainya dari provinsi tetangga? Hanya waktu yang menjawabnya.***

Oleh: Gema Setara,
sudah terbit di Riau Pos

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province