Minggu, 27 November 2011

Green Holic: Limbah Kayu Jadi Benda Seni Padat Guna

Limbah Kayu Jadi Benda Seni Padat Guna
 
Filsuf Cina, Konfisius, mengungkapkan bahwa onggokan sampahpun jika ditata dengan baik akan tampak indah. Ungkapan tersebut seolah tergambar dari karya-karya yang dihasilkan oleh Richard. Di tangannya berbagai jenis limbah kayu sisa sawmill (penggergajian) menjelma jadi karya seni padat guna.

Ditemui disebuah bangunan yang tengah ditatanya, Richard tampak berantakan dengan tangan bernoda cat aneka warna. “Saya sedang membuat lukisan dengan tema culture creative” ceritanya memulai percakapan. Lukisan tersebut sebagian besar berasal dari material seperti batangan-batangan lidi dan kain perca bercorak hitam putih khas Bali.

Demi mendapatkan efek tertentu, ia memakai gerindra yang dapat memberikan warna corak putih alami secara acak di kampas dengan ukuran sekitar 2 x 1,5 meter tersebut. “Profesi asli saya adalah fotografer,” tuturnya. Namun seiring perjalanan hidupnya Richard memilih mendedikasi diri untuk bermanfaat bagi orang lain. Cara yang dipilihnya adalah dengan mendirikan Yayasan Sapulidi. Satu di antara program kerja yayasan ini adalah mendaur ulang limbah kayu menjadi karya seni yang berdaya pakai.

“Saya menjadikan barang bekas apapun khususnya kayu menjadi sesuatu yang lain,” ungkapnya. Misalnya, tambah bapak satu anak ini, pot bunga, rak buku, kap lampu, bingkai foto, kursi minimalis, aneka bentuk lampu, aneka pajangan dinding berupa puzzle kayu, kotak tisu dan apa saja yang bisa dibuat dengan bahan dasar limbah kayu tersebut.

Usut punya usut ternyata Richard bukanlah seorang yang mengenyam pendidikan seni. Ia berlatar belakang teknik mesin di sebuah universitas di Medan. Kemudian ia hijrah ke Jakarta dan menjadi fotografer profesional. “Saya juga sempat memiliki talkshow sendiri di sebuah televisi swasta nasional di Jakarta,” ujarnya. Hingga kemudian jalan hidup membawanya kembali kepada keluarganya di Minas. “Saya belum banyak punya teman di Pekanbaru, oleh karena itu saya mengerjakan semua kegiatan mendaur ulang ini sendiri,” lanjutnya.

Ditanya soal kegiatanya mendaur ulang, profesi utama dan latar pendidikan yang menyimpang bak mata angin, selatan dan utara tersebut, Richard menjawabnya seperti filosofi yang ditanamkan kepada anggota Green Student Journalists (GSJ) Riau Pos. “Banyak membaca, mendengar, melihat dan menulis akan membuat kita tahu tentang berbagai hal,” tuturnya. Dengan melakukan hal tersebut, tambahnya, saya jadi bisa mengerjakan banyak hal, meski itu tidak berhubungan dengan pendidikan atau latar belakang saya sebelumnya. “hanya saja jangan lupa, kerjakanlah dengan hati,” pesannya.

Hingga kemudian ia berusaha menjadikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, terutama benda-benda yang tak lagi berguna dan menyampah menjadi bentuk lain yang bisa di manfaatkan. Jadi jangan aneh ketika berkunjung ke Yayasan Sapulidi, sekaligus lokasi tempat kediaman ayah dari Hosaku Bintang Khatulistiwa ini di Simpang Tiga, Jalan Pahlawan Kerja tersebut. Di sini Anda akan menemukan wastafel yang terbuat dari tiga tindihan ban bekas yang ditempel dengan sebuah kuali besar bekas. Kamar mandi yang setengahnya Aquarium. “Untuk efek cahaya,” kilahnya tersenyum.

Amati juga di sekitar lahan seluas lapangan sepak bola tersebut, maka kita akan menemukan pot seperti tugu yang ditanami dengan rumput. Pot itu berasal dari pipa dan kuali yang di desain sedemikian rupa. Jangan ditanya asalnya karena itu juga barang-barang bekas. Bahan karya Richard bisa datang dari mana saja, seperti, kap lampu dari besi bekas mesin cuci yang akan dibuatnya, atau pohon kelapa yang menjadi rak buku di pojok ruangannya.

“Yayasan Sapulidi baru delapan bulan berjalan,” tuturnya. Selama itu, Richard mengelola dan melakukan semua pembenahan di lahan yang dulunya hanya semak belukar tersebut sendiri. “Ingin menggaji orang tak ado piti,” seru pria keturunan batak tersebut. Lagipula tambahnya, saya masih bisa mengerjakannya sendiri dan syukurlah kondisi di sini menjadi lebih baik, komentarnya sambil mengedarkan pandangan.

Ia menuturkan untuk membuat satu pigura atau bingkai foto membutuhkan waktu hingga dua hari. “Karena detail yang harus di perhatikan dan tingkat kerumitan pigura yang akan dibuat,” katanya. Selain memakai kayu bekas, karya Richard bertambah indah dengan berbagai ornamen yang ditempelkan pada karya itu. Sebut saja untuk sebuah bingkai foto, Richard membuatnya aneka bentuk dengan memanfaatkan limbah lainnya. Misalnya wallpaper bekas hingga cangkang telur. Namun mengenai harga perkarya pria 38 tahun ini mengaku belum menetapkannya.

Selain telah menghasilkan berbagai karya seni dari kayu bekas tersebut, Richard juga membuat dinding kurang lebih seluas 1,60x1,20 meter dari balok-balok kayu bekas. Bentuk uniknya yang menggambarkan karakter bonafit pemiliknya, siapa sangka terbuat “hanya” dari kayu bekas bangunan sebuah ruko.

“Saya mengumpulkan kayu-kayu itu dari mana saja,” jawab Richard ketika ditanya ia mendapatkan bahan seninya dari mana. Bahkan tak jarang saya turun dari kendaraan ketika menemukan sebentuk kayu di tong sampah, lanjuntya. Richard juga tak segan untuk langsung ke tempat penampungan barang bekas para pemulung untuk menemukan aneka jenis kayu. “Hampir semuanya saya dapatkan gratis, namun ada juga yang sebagian beli,” ucapnya sambil memamerkan beberapa foto-foto yang pernah diambilnya dari berkeliling Indonesia dengan menjadi fotografer.

“Keberadaan Richard membuat rasa bersalah saya terhadap limbah kayu hasil proyek yang saya kerjakan menjadi berkurang,” ungkap Dedi Ariandi praktisi arsitektur di Pekanbaru yang ditemui di tempat berbeda. Karena saya tidak perlu bingung lagi untuk membuangnya kemana atau menjadikannya sebagai apa, ungkapnya kemudian.

Bukan hanya tentang pengolahan limbah kayu, Richard memiliki perhatian khusus kondisi lingkungan. “Saya mencetak 4000 pembatas buku yang berisi pesan-pesan lingkungan dan itu dibagikan gratis kepada siapa saja, khususnya pelajar,” ungkapnya sambil membagikan pembatas buku kepada tim Riau Pos For Us yang bertuliskan “setelah pohon, ikan, sungai terakhir ditebang, ditangkap, diracuni, baru kita menyadari bahwa uang tidak dapat dimakan.”

Ia menuturkan bahwa ingin berkunjung ke sekolah-sekolah yang ada di Pekanbaru dan memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada para pelajar. “Saya bersedia mengajarkan siswa-sisiwa tentang bagaimana cara memanfaatkan barang-barang yang ada disekitar kita dengan sederhana namun bagus,” ungkapnya. Misalnya mereka bisa membuat pigura sendiri dari bahan-bahan yang mereka miliki sehingga tak perlu membelinya lagi. “Buat apa membeli bingkai foto kalau kita bisa membuatnya sendiri. Saya lihat generasi muda sekarang maunya instan, serba tersedia, padahal itu mematikan kreatifitas,” serunya pendiri Richard Foundation ini.

Richard juga bercerita tentang kegiatan lainnya, bahwa ia juga membagikan bibit tanaman gratis untuk diberikan ke sekolah-sekolah. “Di Jakarta dulu saya menanam bibit tanaman buah sendiri,” kenangnya. Jika musim mangga maka kami mengambil bijinya dan membibitkannya. Demikian juga jika musim buah lainnya, baik itu durian ataupun rambutan. Tanaman buah sengaja dipilih demi dwifungsi atau nilai gunanya.

Sekarang setelah tinggal di Pekanbaru, Richard, tidak merasa keberatan jika menenteng segoni biji ketapang untuk dibibitkan di lahan Yayasan Sapulidi. Kegiatan tersebut sama seperti yang dilakukan ketika ia bermukim di Jakarta. Menanam biji pohon buah sendiri, dan membaginya sendiri ke sekolah-sekolah untuk ditanami. “Bangunlah dan kerjakanlah sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak,” pesannya berkali-kali.(tya-gsj)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province