Senin, 28 Mei 2012

Redd Sanggupkah Riau?

REDD+Sanggupkah  Riau?  


Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), adalah upaya masyarakat dunia untuk memperlambat proses terjadinya perubahan iklim. Tak hanya terkait upaya merestorasi kebijakan terkait pemanfaatan hutan, proyek besar ini juga memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi hutannya termasuk di antaranya di Indonesia dan Riau khususnya.

Sebagai daerah dengan luasan hutan mencapai 9 juta hektare, Riau termasuk sebagai salah satu provinsi yang masuk dalam cadangan utama pelaksanaan REDD di Indonesia. Dengan potensi hutannya yang cukup besar itu, diharapkan Riau bisa menjadi kawasan penyelamat dunia dari ancaman perubahan iklim, mengurangi emisi. Seperti apa kesiapan Riau sendiri?

Sejauh ini belum ada tindakan konkrit di lapangan terkait Komitmen Indonesia pada Konvensi Perubahan Iklim di Bali pada 2007 lalu itu. Satu-satunya Provinsi yang sudah menerapkan proyek REDD+ baru Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Itupun dengan sejumlah prasyarat yang terasa berat untuk bisa direalisasikan.

Perjuangan Aceh merealisasikan REDD+ sendiri juga bukan hal mudah. Hal tersebut diakui Dewa Gumay dari Flora Fauna International (FFI) saat workshop Penilaian Risiko Korupsi dalam REDD+ yang dilaksanakan Transparency International Indonesia (TII), awal pekan lalu. Selain faktor masyarakat, proyek REDD+ uang dilaksanakan di Ulu Masen ini juga berhadapan dengan masih lemahnya regulasi serta komitmen pemerintah sendiri. ‘’Syukurnya Aceh didukung penuh oleh Gubernurnya dengan kebijakan moratorium logging maupun moratorium dalam pembukaan kawasan hutan.Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa,  semenjak dilaksanakan proyek yang dimediasi oleh Norwegia itu, luas kawasan hutan NAD bertambah lebih dari 850.000 hektare,’’sebut Dewa.

REDD+ memang bukan sekedar proyek ada hutan dan menanam, melainkan juga sampai pada tahap perlindungan kawasan dari aktifitas ilegal maupun regulatif.
Lantas, seperti apa Riau melaksanakan proyek ini? sejauh ini, diakui Kabid Planologi Kehutanan Provinsi Riau yang juga menjadi Sekretaris Satgas REDD+ Riau, Fredrik Suli belum sampai pada aspek teknis. ‘’Kita baru membentuk Satgas REDD+ yang akan merancang rencana aksi,’’ sebut dia. Namun, bukan berarti Riau lambat dalam meresponi komitmen internasional penyelamatan lingkungan ini.

Secara nasional, dijelaskan dia, pemerintah juga baru membentuk Satgas REDD+. Hal tersebutlah yang kemudian ditindaklanjuti ke daerah. ‘’Pemerintah komit, hanya saja, ini kan memang sesuatu yang baru,’’ tegas Fredrik lagi.

Bagitupun, sudah ada beberapa bentang kawasan yang memang sudah disiapkan untuk REDD+, diantaranya Tahura SSH II, Hutan Adat Rumbio, Hutan Buluh Cina, Areal Konservasi Harimau di Senepis, Semenanjung Kampar, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman nasional Zamrud, Giam SIak Kecil Bukit Batu. Seluruh kawasan tersebut dipilih selain masih mempunyai potensi kawasan, juga memungkinkan untuk tindakan lainnya.

Hanya saja, untuk tahap awal, pemerintah sudah merancang Tahura SSH II, Hutan Adat Rumbio dan Buluh Cina sebagai pencadangan kawasan.’’Tapi itu pun belum sampai pada kegiatan di lapangan. Masih direncanakan. Nanti bentuk kegiatannya seperti apa, itu yang dibahas melalui rencana aksi strategis,’’ imbuh Fredrik.
Pengamat lingkungan Universitas Riau, Prof Adnan Kasry menjelaskan, dalam merealisasikan REDD+, memang tidak cukup sekedar komitmen. Harus ada upaya nyata untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan.’’Saya tak ingin pesimis dulu dengan mengatakan kita tak siap untuk infrastruktur dan komitmen. Saya yakin, ini bisa dilaksanakan, karena ini bukan sekedar kompensasi yang didapatkan dari penyelamatan hutan, namun terkait nasib generasi Riau ke depan,’’ papar dia.

Bayangkan bila tidak ada upaya untuk mengatasi laju deforestasi,konversi lahan, maka Riau dalam kondisi yang juga tidak diuntungkan. Karenanya, sinergitas dalam pelaksanaan kebijakan REDD+ ini harus didukung. ‘’Jadi, saya kurang sepakat kalau dikatakan peran pemerintah dalam melaksanakan REDD+ ini tidak penting. Paling tidak, untuk rancangan awalnya, perlu ada kebijakan pemerintah,’’ jelas Adnan.

Begitupun, dia sendiri mengaku belum tahu seperti apa desain yang akan dilaksanakan di Riau ke depan. ‘’Karena masih dalam proses penyusunan rencana aksi. Kalaupun ada beberapa kawasan yang memang dicadangkan untuk menjadi pilot projet pelaksanaan REDD+,tentu ada pertimbangannya,’’imbuh dia.

Sebaliknya, TII, sebagaimana dijelaskan Local Unit Manager Asia Pacific Forest Governance Integrity Programme, Raflis, dengan kondisi yang ada saat ini, pelaksanaan REDD+ di Riau berada dalam kondisi karut marut pemetaan kawasan. Belum duduknya pembahasan tata ruang wilayah provinsi, kabupaten dan kota dengan tata ruang nasional bukan saja berisiko konflik antar kepentingan, juga rawan untuk menimbulkan praktik korupsi.

Dia juga menyinggung perihal lemahnya proses penegakan hukum terhadap praktik pembukaan kawasan hutan yang tidak sejalan dengan komitmen moratorium kehutanan. Dia mencontohkan sedikit sekali vonis yang tuntas terhadap otak pelaku illegal logging yang menurutnya juga akan memberikan korelasi bila REDD+ dilaksanakan di Riau.

Karena itulah, Raflis menyebutkan perlu ada komitmen, regulasi  dan dukungan semua  komponen  untuk mengatur sejauh apa peran masyarakat, swasta maupun pemerintah sebagai pengelola lahan dan konsistensi dalam pemanfaatan kawasan. Dia mencontohkan pembukaan lahan gambut di Semenanjung Kampar yang sejauh ini tidak sejalan dengan kebijakan perlindungan terhadap lahan gambut berkedalaman 3 meter lebih.

Dia juga mencontohkan bahwa sejauh ini, baru beberapa perusahaan besar yang siap dengan tata batas kawasan hutannya. Sedangkan untuk lahan yang dikuasai masyarakat, termasuk kawasan hutan ulayat, dan hutan negara belum terpetakan.

Sejauh ini, Walaupun gagasannya tampak sederhana, implementasi di lapangan jauh lebih sulit. Tantangan-tantangan besar di dalam mekanisme ini termasuk bagaimana mengukur karbon secara akurat, bagaimana memastikan dana sampai ke komunitas hutan dengan transparan dan efisien, siapa yang akan bertanggung jawab apabila hutan ternyata tetap rusak, serta sumber pendanaan. Lebih dari 30 model tentang bagaimana REDD+ seharusnya dilaksanakan telah diajukan oleh berbagai negara dan organisasi non pemerintah.

Konvensi perubahan iklim terakhir di Cancun tahun 2010, dunia telah sepakat untuk memasukkan REDD+ dalam mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto berakhir di tahun 2012. Dana sudah mulai mengalir, seperti negara donatur Norwegia, yang komitmen  mengucurkan dana sampai 1 miliar dolar AS untuk Indonesia di bawah payung REDD+ dan direalisasikan untuk Ulu Masen Aceh.

Beberapa Provinsi lainnya yang mempunyai potensi cadangan hutan juga bersiap untuk merebut proyek konservasi dengan kompensasi ini.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Green Student Journalists | Bloggerized by Lasantha - Tebarkan virus cinta lingkungan | student_lovers_enviroment, Riau Province