Penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degraradation (REDD++) masih ibaratkan buaian mimpi bagi masyarakat Riau. Walau telah menyusun rencana strategis dan penetapan cadangan kawasan, belum ada gambaran riil apa dan bagaimana penerapannya kelak.
Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru buddysyafwan@riaupos.com
Wajah Bahrum Datuk Sotieh hanya bisa tersenyum simpul ketika Riau Pos menyinggung perihal penerapan program pengurangan emisi karbon lewat program penyelamatan hutan yang dikenal dengan REDD. Bukan karena yakin program tersebut akan menjadi jawaban atas harapannya dan masyarakat di kampung yang dipimpinnya, di Kenegerian Padang Sawah Kampar Kiri, Kabupaten Kampar tentang nilai plus kepemilikan hutan adat. Namun lebih dikarenakan rasa pesimis akankah itu terlaksana.
Sudah banyak program yang ditawarkan berkenaan dengan upaya menjaga hutan, melindungi dan mengambil manfaat dari kepemilikan hutan tersebut. Namun, tak satupun terealisasi sesuai harapan.’’Dalam programnya bagus, dalam pelaksanaannya, ya, begitulah,’’ ungkap dia dengan nada pesimis.
Meski jarang terdengar layaknya Hutan Adat Rumbio atau Buluh Cina, namun, Datuk Sotieh mengaku memiliki hutan ulayat desa yang luasnya hampir berkisar 1.000 hektare. Hutan tersebut membentang di sepanjang Kampar Kiri yang keberadaannya diakui secara adat oleh masyarakat setempat.
‘’Sudah banyak pihak yang meminta dengan menawarkan berbagai iming-iming asal sebagai pucuk negeri,asal saya bersedia menandatangani pemanfaatan lahan kepada pihak tertentu. Tapi, sejauh ini saya tidak bersedia. Sejauh ini, sepengetahuan saya, hutan adat itu masih ada,’’ ungkap dia.
Keprihatinan muncul, dijelaskan dia, karena, walau komitmen pelestarian ada pada masyarakat, tak jarang, arah dari pemerintah tidak sejalan dengan hal tersebut. Itulah, yang menurut dia menjadi alasan mengapa pihaknya tidak terlalu ingin berharap dengan setiap program yang ditawarkan bila berkaitan dengan penyelamatan hutan.
‘’Kami tak perlu program, karena, tanpa ada program pun, sebenarnya kami sudah melaksanakan. kami juga yang menyelamatkan hutan adat secara turun temurun. Bahkan, masyarakat kami tak berani melanggar aturan adat karena lebih memegang prinsip adat soal menyelamatkan lingkungan ketimbang aturan yang dibuat pemerintah,’’ keluh Bahrum.
Bahrum bahkan mengaku merasa sedih, karena, saat ini, di sekitar kampung halamannya, sudah banyak lahan yang harusnya masih bertahan sebagai kawasan hutan, areal pertanian, kini telah beralih fungsi sebagai perkebunan. Padahal, dulunya, Kenegerian Padang Sawah Kampar Kiri dikenal sebagai sentra pertanian, bukan saja untuk pemenuhan keperluan sehari-hari warga, namun juga untuk warga di sekitar. ‘’Kalau dulu, kebun karet itu, bisa menghasilkan 30 kilo kalau kebun rakyat. Kalau yang dikelola bagus, bahkan bisa sampai 100 kilo per hektare. Sekarang, semuanya sudah berubah menjadi kebun sawit. Ibarat petuah, ‘Nikmatnya hidup sebatas panen’. Banyak warga yang melepas kebun karena ingin senang sesaat. Ketika orang panen sawit, merekapun hanya bisa melihat kemiskinan. Itu juga alasan mengapa saya tak pernah bersedia melepas hutan adat Padang Sawah ini,walau tak jarang juga ada oknum yang mencoba mendekati lewat kebijakan,’’ ungkap dia.
Menurut Bahrum, banyak kebijakan yang ditelurkan pemerintah ibaratkan ikan lele. ‘’Kepala lele itu, di depannya rata dan lancip, tapi, bentuk badan dan ekornya tegak. Tak jarang sengatnya mengenai orang yang menangkap. Artinya, sering tak sama antara program dan maksudnya. Akhirnya rakyatlah yang menjadi korban,’’ sebut lelaki yang rambutnya kini mulai dipenuhi uban ini.
Karena itu juga, Bahrum mempertanyakan apakah program-program yang ditelurkan pemerintah benar-benar dilaksanakan atau hanya sebatas memberi angin pada masyarakat atas aset lingkungan yang dimiliki?
Menelusuri komitmen masyarakat terhadap upaya penyelamatan lingkungan memang bukan hal mudah dewasa ini. Apalagi bila dikaitkan dengan semakin terbatasnya lahan peruntukan lain. Karena, banyak juga hutan-hutan adat yang akhirnya tergerus oleh kepentingan ekonomi.
Meski begitu, bukan berarti Bahrum hanya berjuang sendiri untuk menyelamatkan hutan Riau yang masih tersisa. Sebut saja Patih Laman di Indragiri Hulu, Muhammad Nasir di Batang Gangsal, atau Umar di Buluh Cina.
dalam menjaga lingkungan tetap terjaga. Lantas, seperti apa peran yang diberikan kepada mereka?
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Riau, Efrianto menyebutkan disinilah dilema dari pelaksanaan REDD++, termasuk di Riau. Meski secara riil rencana aksi nasional REDD++ memastikan keterlibatan masyarakat adat dalam penerapan kebijakan menekan emisi dari kerusakan hutan dan lingkungan, namun, belum ada kepastian dan pengakuan negara atas masyarakat adat sebagai komunitas yang selama ini berperan menjaga kelestarian lingkungan.
Karena itulah, dijelaskan Efri, dalam beberapa kali pertemuan di Jakarta menyoal pelaksanaan REDD++, masyarakat adat meminta ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat. Tanpa itu, pemerintah artinya tidak mengakui kearifan lokal yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas adat.
Efri mencontohkan, ketika pemerintah menetapkan Suaka marga Satwa Bukit Rimbang-Baling sebagai kawasan lindung, apakah pemerintah menimbang juga peran masyarakat adat dan wilayah kekuasaannya?
Sungguh ironis bila dalam praktiknya, peran masyarakat adat dikecilkan setelah terbitnya keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau negara. Padahal, kebijakan tersebut muncul jauh setelah keberadaan masyarakat di satu kawasan. ‘’Yang menjaga hutan itu dari dulu kan masyarakat. Di sana ada rimba larangan, ada sungai larangan, semua adalah kebijakan adat yang jauh lebih dulu ada dan jauh lebih ditaati oleh masyarakat. Lantas mengapa tak dipertimbangkan untuk melibatkan masyarakat di kawasan tersebut?’’ keluh Efri.
Efri sendiri menilai upaya mengecilkan peran masyarakat adat dalam merealisasikan REDD++ sebagai bentuk tidak konsistennya pemerintah dalam melaksanakan program penurunan emisi karbon. ‘’Saya melihat kendalanya bukan cuma di kebijakan pusat, namun juga di daerah. Berapa kali pertemuan di tingkat daerah, tak melibatkan masyarakat adat. Cenderung hanya mengundang pejabat-pejabat pemerintahan yang orientasinya hanya sebatas program,’’ papar Efri.
Perhatikan Stake Holders
Seperti apa peran masyarakat dalam pelaksanaan REDD++, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Fredrik Suli mengaku memang belum bisa memberikan terlalu jauh paparan. Maklum saja, sat ini, proses penggodokan REDD++ versi Riau masih dalam proses penyusunan program dan rencana aksi daerah.
‘’Belum, memang belum sampai sejauh itu, tapi, pastinya, seluruh stake holders memegang peranan penting dalam merealisasikan program yang tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya degradasi dan kerusakan hutan,’’ sebut Fredrik.
Apakah lantas masyarakat adat mendapatkan peran dan manfaat, Fredrik mnyatakan pastinya ya. Hanya saja, sejauh apa dan bagaimana, tentunya itu menjadi hal yang akan didudukkan. Namun, logisnya, bila kawasan hutan yang dimaksud menjadi objek pelaksanaan REDD dikelola oleh masyarakat adat, tentunya harus ada peran dari masing-masing pihak yang ada di sana.
Karenanya, Fredrik berharap, untuk melaksanakan ini, perlu masukan dan peran dari seluruh pihak terkait. Apakah masyarakat ada, pemangku kawasan, pemerintah, swasta, semuanya harus memberi masukan untuk bisa mendudukkan peran masing-masing dalam menggagas REDD++ itu.
Sama halnya dengan pemahaman bahwa pemerintah hanya menetapkan delapan kawasan sebagai cadangan lahan yang akan diperjuangkan untuk REDD tersebut. ‘’Itu kan baru pencadangan dan usulan. Jadi tak tertutup juga kemungkinan itu berubah sesuai dengan masukan dari para stake holders. Bisa saja di kawasan yang lebih baik atau yang lebih pasti lagi. Karena itulah, kita harapkan, jangan berbeda persepsi dulu. Akan lebih baik bila kita mendorong proses ini terlaksana sesuai dengan program yang sudah ditetapkan kementerian,’’ ajak dia.
Hendaknya juga, dalam proses itu, tidak ada bagian dari masyarakat yang menjadi penonton. Semuanya memberikan peran minimal, ada yang sudah terlaksana dalam waktu dekat.***
2 komentar:
FPIC/PADIATAPA sebatas kertas
Proyek REDD+ harus menerapkan FPIC (Free Prior Informed Consent/Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan, PADIATAPA), dari mulai perencanaan hingga monitoring dan evaluasi pelaksanaan REDD+, hal ini untuk menjamin bahwa pelaksanaan program REDD+ harus mendapat persetujuan dari masyarakat adat.
Posting Komentar